[Tatib / Komdis Dihapus, Solusinya?]

Ilham Mukti
8 min readAug 12, 2019

"KAKAK PANITIA JUGA CAPEK, EMANG KALIAN DOANG!"

“DIPERCEPAT DONG DEK!"

"ADA MASALAH PUTRA?"

"INI YAKIN GA ADA YANG MAU MENJAMIN UNTUK ANGKATANNYA?!"

Oleh Ilham Mukti
Serial Prototipe: tulisan ke-1/xx

Jika salah satu (atau beberapa) hal di atas masih ada dalam ospek (jurusan) kamu, maka tulisan ini perlu dibaca dalam rangka penyegaran pikiran, demi pikiran yang lebih segar. Terutama bagi kalian yang menjadi panitia. Hal-hal ini dikumpulkan dari hasil diskusi, refleksi dan pengamatan penulis tentang ospek. Penulis akan menunjukkan bahwa hal-hal di atas sudah tidak relevan lagi (jika bisa dikatakan begitu) bagi mahasiswa. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba menjawab dan mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Dalam ospek jurusan biasanya kita mengenal satu elemen (yang bagi sebagian orang sangat penting), yaitu divisi Tata Tertib (Tatib) atau mungkin di tempat lain disebut Komisi Disiplin (Komdis) dan sejenisnya. Kalau dilihat dari namanya, hasil pengamatan dan diskusi, setidaknya ada 2 fungsi inti yang dilaksanakan Tatib. Pertama, mengkondisikan mahasiswa baru agar tertib pada saat acara melalui "ketegasannya". Kedua, sebagai salah satu metode untuk membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai yang telah ditentukan di awal perumusan ospek. Hal yang baik memang, tapi sejauh mana itu baik? Mari kita bedah.

Kampus atau universitas erat dengan kebebasan, bahkan paham marxisme yang sangat terlarang pun bebas dibahas dalam konteks akademik. Kalau paham yang paling terlarang-pun bebas dibicarakan, jelas kita bisa menilai sebebas apa (seharusnya) kehidupan universitas itu. Bukannya menjaga kebebasan itu, justru yang terjadi sering sebaliknya, sedari awal mahasiswa masuk sudah dilucuti dengan ospek-ospek yang tidak membebaskan: penyeragaman; teriakan-teriakan keras; bentuk-bentuk senioritas yang menindas; dsb.

Salah satu elemen yang mendukung itu ialah dengan adanya Tatib. Bentuk-bentuk seperti sikap tubuh (ala senior), kondisi yang dibuat sedemikian rupa, teriakan, perintah-perintah satu komando dan cara-cara yang biasanya dipakai Tatib mungkin memang bisa menertibkan manusia. Tapi kita sering lupa, yang ditertibkan disini adalah mahasiswa, yaitu seorang akademisi (atau setidaknya manusia yang belajar di tempat belajar). "Manusia yang belajar di tempat belajar" mencari apa yang dinamakan kebenaran. Untuk dapat menemukan "kebenaran", ruang kebebasan berpikir harus dibuka lebar-lebar karena kebenaran dapat datang dari mana saja. Maka itu, hal-hal yang berpotensi mengganggu kebebasan proses mencari kebenaran haruslah ditekan sedemikian rupa, mau itu manis ataupun pahit bagi diri kita.

Hasilnya, seorang akademisi punya cara-cara tersendiri dalam menertibkan dirinya, bukan dengan baris-berbaris, menundukan kepala, komando oleh satu orang, gesture tubuh (ala senior) lalu bicara dengan nada tinggi. Seorang akademisi punya cara-cara tersendiri untuk mengenal satu sama lain, bukan hafalan paksaan dengan penekanan mental sedemikian rupa oleh senior. Seorang akademisi punya cara-cara tersendiri untuk kompak dan solid, bukan dengan baju dan atribut yang seragam. Akademisi berbeda dengan yang lainnya, oleh karena berbeda maka cara-cara yang digunakan juga berbeda.

Cara-cara bercorak militer (yg biasanya digunakan Tatib) memiliki karakter yang khas, mereka hanya mengenal kalimat perintah, bukan sanggahan, kritisisme, apalagi bantahan, itu dilakukan demi efektivitas rantai komando dalam bertempur dan menghadapi musuh. Hal seperti inilah yang tidak cocok bagi akademisi. Selain tidak ada ruang bagi kritisisme, perilaku dan pikiran tidak bisa ditertibkan begitu saja melalui cara-cara seperti itu. Cara-cara seperti itu tidak mencerminkan intelektualitas (kalau bisa dikatakan begitu) yang dilekatkan pada mahasiswa. Cara-cara semacam itu tidak bisa diterapkan di semua tempat dan kondisi, termasuk kampus yang notabene ruang sipil dan akademis. Artinya, cara-cara itu sudah seharusnya ditinggalkan dalam ospek.

Ibarat kamu bertujuan memasukan bola, maka kamu lihat dulu, ini permainan sepak bola atau basket? Kalau permainan sepak bola, ya kamu memasukan bola dengan kaki, bukan dengan tangan apalagi benda, karena itu pelanggaran. Begitu juga dengan ospek, untuk mencapai (misalnya) tujuan disiplin dan solid, maka kamu harus melihat dulu bahwa mahasiswa ini apa, wah ternyata akademisi. Maka kamu harus mencapainya dengan cara akademisi, bukan dengan cara militer maupun hal lainnya. Teman-teman mungkin bisa membayangkan, seorang atlet Badminton bermain dengan aturan Sepak bola, memakai baju Renang, di lapangan Tenis. Ya begitulah kira-kira gambaran semrawutnya ospek yang selama ini berkembang dengan elemen Tatib di dalamnya.

Artinya, goals (panitia) bukan lagi terletak pada tujuan dan kebutuhan semata (solid, disiplin, memperkenalkan, dsb), tapi juga pada proses dan cara-cara yang diterapkan haruslah mencerminkan identitas mahasiswa. Kalau sekadar solid, disiplin dan memperkuat mental, semua profesi juga membutuhkan itu, bahkan pembunuh pun butuh bermental kuat untuk membunuh korbannya. Dalam konteks ini bukan lagi bicara bagaimana caranya membangun solidaritas, tapi bagaimana cara membangun solidaritas bagi akademisi; bukan lagi bagaimana cara membangun disiplin, tapi bagaimana cara membangun disiplin bagi akademisi; bukan lagi bagaimana cara membangun pengenalan, tapi bagaimana cara membangun pengenalan bagi akademisi; dst. Cukup mudah seharusnya memahami logika semacam ini, tapi hal inilah yang sering hilang dalam perdebatan perumusan ospek.

Selain cara-cara Tatib di atas tidak mencerminkan intelektualitas, ada satu hal mendasar lagi tentang keberadaan Tatib yang mesti kita ketahui. Tatib dan cara menertibkan semacam itu anehnya hanya ada dalam acara Ospek, sementara dalam acara-acara lainnya tidak ada. Kita tidak pernah melihat ada konsep semacam Tatib pada acara Dies Natalis Jurusan, Sambutan Wisuda, Makrab, Seminar, Olahraga Antar Angkatan, Kompetisi tingkat Nasional, maupun hal lainnya, padahal itu juga membutuhkan ketertiban.

Artinya, konsep utama Tatib bukan didesain untuk "menertibkan acara", tapi lebih tepatnya "menertibkan junior". Itu dapat dibuktikan bahwa konsep semacam Tatib tidak pernah ada di acara-acara yang pesertanya senior. Jadi sungguh jelas, adanya Tatib merupakan bentuk penegasan superioritas senior (panitia) terhadap mahasiswa baru. Hanya karena mahasiswa baru lebih junior, maka cara-cara semacam itu digunakan, sementara cara-cara yang lebih "humanis" diterapkan untuk acara-acara yang pesertanya senior. Kalau sejak awal benih-benih superioritas telah ditumbuhkan kepada para akademisi, bagaimana bisa kebenaran-kebenaran lain akan tumbuh(?)

Penulis nilai permasalahan terhadap cara-cara dan keberadaan Tatib sudah selesai, yaitu tidak dapat dibenarkan. Lalu timbul pertanyaan, kalau divisi Tata Tertib dihapuskan, bagaimana caranya supaya mahasiswa baru tertib dan tepat waktu pada saat acara?

Pertama dan utama, ubah cara pandang kita. Pandangan yang sebelumnya difokuskan pada penertiban mahasiswa baru mari kita ubah. Kenapa diubah? Karena mau bagaimanapun manusia itu sangat kompleks dengan kondisi yang beragam. Bahkan, agama sekalipun sebagai ajaran yang dogmatis kesulitan dalam menertibkan ummatnya, solat 5 waktu dalam Islam misalnya. Meskipun ganjarannya adalah api neraka yang panas, tapi tetap saja banyak yang tidak solat. Begitu juga dalam hal akademik, mau diwajibkan sewajib apapun untuk masuk kelas, yang namanya mahasiswa ada saja yang melanggar dan tidak masuk. Kalau dalam kedua hal yang mengakar dan "membumi" itu saja manusia (mahasiswa) masih kesulitan untuk teratur, apalagi yang hanya sebatas kepanitiaan ospek yang tiba-tiba datang untuk mengatur mereka.

Artinya, fokus kita (panitia) bukan pada meneraturkan dan menepatwaktukan mahasiswa baru, melainkan lepaskan saja tanggung jawab itu kepada mereka. Kalau pandangan itu (sebelumnya) masih dipakai, kita kesulitan mencari formasi yang ideal, akhirnya malah terjerumus untuk melakukan berbagai cara dalam menghadapi ketidaktertiban mahasiswa baru. Jawaban atas permasalahan ini ya dengan meletakkan tanggung jawab. Ini pun penuh pertentangan, siapa kita (panitia) sehingga meletakkan tanggung jawab kepada mereka (mahasiswa baru)? Tapi coba kita kesampingkan itu dulu.

Mahasiswa baru adalah manusia yang setidaknya telah berumur 17 tahun ke atas. Artinya, cukup dewasa bagi mereka untuk bisa membedakan dan menimbang-nimbang antara yang baik dan buruk, tepat dan tidak tepat, benar dan salah, maupun hal sejenisnya. Kalau dalam konteks ospek, beberkan saja bahwa panitia mempunyai sistem penilaian yang terdiri dari kehadiran, tugas, keaktifan dan sebagainya. Bagi siapa yang tidak melakukan (itu), konsekuensi logisnya nilainya akan terganggu untuk dapat "lulus ospek".

Sesimpel itu memang, tetapi terkadang kita (panitia) tidak merasa cukup akan konsekuensi semacam itu. Kita merasa harus ada hukuman yang tepat dan cepat ketika mahasiswa baru tidak melakukan apa yang telah disepakati, Push Up misalnya. Dengan adanya itu, mahasiswa baru tidak diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya secara "gentle" (secara akademisi). Memang, menjalankan hukuman push up sesuai kesepakatan adalah tindakan pertanggungjawaban, tapi buat apa ada sistem penilaian kalau juga menerapkan push up?

Sistem penilaian dibuat untuk melihat apakah seseorang kompeten atau tidak dalam beberapa indikator yang sudah ditetapkan di awal perumusan. Kalau memang dalam praktiknya seseorang tidak memenuhi salah satu indikator, misalnya kehadiran. Ya tinggal kurangi saja nilai kehadirannya. Tidak perlu repot-repot mikirin hukuman apa yang tepat dan cepat, apalagi push up. Kalau teman-teman sulit mencerna, lihat saja kampus, barangsiapa yang tidak masuk kelas, ya nilai akan terganggu. Begitu juga yang telat dan tidak mengerjakan tugas, nilai juga akan terganggu, tidak ada tuh hukuman push up atau lari mengitari lapangan.

Setelah mengubah cara pandang dan membeberkan bahwa kita (panitia) mempunyai sistem penilaian, apakah seketika mahasiswa baru akan tertib pada saat acara? Belum tentu, seperti poin pertama, posisi kita memandang mahasiswa baru haruslah diubah. Mahasiswa baru bukanlah manusia yang harus kita tertibkan dengan berbagai macam cara. Jadi, kita tidak perlu capek-capek kesana-kemari untuk sekadar menertibkan, kita letakkan saja tanggung jawab itu kepada mereka layaknya kampus memberi kita tanggung jawab untuk selalu masuk kelas-- barang siapa yang tidak masuk kelas, maka nilai akan terganggu. Setidaknya dengan cara inilah kita mengatasi ketidaktepatwaktuan dan ketidakteraturan mahasiswa baru, bukan dengan teriakan dan gesture "ketegasan" ala senior ataupun militer. Cara ini penulis nilai lebih cocok untuk akademisi. Ya itupun kalau kalian masih menganggap mahasiswa baru sebagai akademisi, kalau bukan, silakan pakai cara lama.

Setelah mengubah pandangan dan meletakan tanggung jawab, ada satu hal lagi yang tak kalah penting ketika ingin mengubah perilaku seseorang, yaitu modalitas. Modalitas merupakan jembatan antara norma dan tindakan. Modalitas selalu berbentuk sistemik, bukan sanksi setelahnya atau bukan tindakan setelahnya. Kita tahu nih bahwa menyontek pada saat ujian ialah tindakan yang tidak baik, kita juga tau bahwa sanksi menyontek bagi beberapa dosen sangat berat, tetapi pada realitanya kenapa kita tetap menyontek?

Karena tidak ada modalitas disitu, sanksi atau hukuman saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan perilaku. Sanksi atau hukuman hanya bisa meminimalisir kesalahan, tidak menyelesaikan permasalahan. Modalitas bagi kasus menyontek ya buat saja ujian lisan, dengan begitu tidak ada lagi mahasiswa yang menyontek. Begitulah modalitas bekerja, sasarannya adalah sistem, bukan manusia. Modalitas langsung menerjang permasalahan dan mengubahnya dengan cara sistemik, sedangkan Tatib sebaliknya, ia menerjang manusia agar tidak mendekati permasalahan dengan gesture "ketegasannya". Padahal seperti disinggung di atas, manusia itu sangat beragam, mau diterjang seterjang apapun tetap saja tidak akan menjamin permasalahan teratasi.

Contoh lain misalkan mengantre, kita sering mendengar: kamu harus mengantre; antre adalah budaya yang baik; jika tidak mengantre, maka sanksi akan mengenaimu; dsb. Hal-hal semacam itu hanya akan menjadi omong kosong tanpa modalitas. Dalam beberapa Puskesmas atau layanan publik lainnya biasanya sudah mulai memahami bahwa modalitas memang perlu. Maka dibuatlah nomor antrean, barang siapa yang mau mendapat pelayanan, maka ambil dulu nomor antrean, baru setelahnya dipanggil. Begitulah kerja modalitas, bukan sekadar hukuman dan omong kosong.

Sama juga dengan mahasiswa baru, untuk bisa tertib pada saat acara maka dibutuhkan modalitas. Dan Tatib seperti sudah disinggung di atas, ia bukan modalitas, dan cara-caranya tidak mencerminkan akademisi. Artinya Tatib tidak menyelesaikan permasalahan ketertiban dan disiplin, tapi hanya mencoba meminimalisirnya, sedangkan yang menyelesaikan permasalahan ya modalitas. Lalu apa modalitasnya? Kita lihat dulu, yang dimaksud ketertiban ini apa? soal ketepatan waktu kah? atau soal kehadiran? Kalau dua soal itu yang dimaksud, maka sudah dijawab di atas, yaitu tentang keberagaman manusia, konsep belajar kampus pada umumnya dan meletakkan tanggung jawab. Atau kalau teman-teman punya modalitas yang lebih tepat tentang ketertiban, silakan saja.

Yang pasti, penulis ingin menyampaikan bahwa penghapusan Tatib bukan tanpa sebab, bukan juga karena sentimen terhadap cara militer, atau bukan juga bilang bahwa cara-cara semacam itu tidak menyelesaikan permasalahan. Yang penulis tekankan disini adalah bahwa mahasiswa ya sebagai akademisi, oleh karena akademisi, maka cara-caranya harus mendukung itu. Sedangkan Tatib tidak mencerminkan itu, makanya cara pandang baru diperlukan untuk menggantikan perannya yang selama ini ada dalam ospek.

Setelah keberadaan Tatib kita gugat, penyataan yang sering ditemukan jika Tatib dihapuskan biasanya berkaitan dengan mental, hormat-menghormat dan sejenisnya. "Nanti maba jadi lembek", "Nanti maba ga hormat sama senior", "nanti blablabla...". Ketakutan-ketakutan berlebih seperti ini penulis nilai keliru, dan perdebatan-perdebatan semacam itu sudah banyak dijawab dalam tulisan-tulisan lain. Bagi teman-teman yang merasa itu belum terjawab, silakan baca tulisan-tulisan itu.

Tidak mudah memang memahami kenyataan seperti ini, apalagi kalau sudah menjadi tradisi tahunan di jurusan. Ya semacam gerhana bulan yang lama sekali diyakini secara mistis dan penuh mitos-mitos, sains datang memberikan penjelasan lalu dipahami sebatas fenomena alam biasa. Tapi setidaknya penulis mencoba untuk mengurai dan menjawabnya, mau diamini atau tidak, biarkan pembaca yang menilai. Semoga kita tercerahkan!

--

--