RUU PKS Pro Seks Bebas?: Refleksi Hal Mendasar
Oleh: Ilham Mukti
21 Sept 2020
Kasus kekerasan seksual di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut catatan Komnas Perempuan, tahun 2019 ada sekitar 431,471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang berhasil tercatat. Angka itu meningkat dari 406,178 kasus pada tahun 2018 dan 348,446 kasus pada 2017. Bahkan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, angka kasusnya meningkat sebanyak 792% (tujuh ratus sembilan puluh dua persen).
Tentu angka bukan sekadar angka, ada jiwa yang terenggut, fisik yang tersakiti, dan ingatan yang merekam detik demi detik kejadian.
Dibalik angka-angka yang menjulang tinggi, tersimpan harapan bagi banyak orang yang meyakini bahwa RUU PKS adalah solusi dari itu. RUU PKS adalah secercah cahaya dibalik gelapnya penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan negara selama ini. Sehingga tak khayal, banyak orang yang mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS ini.
Sebelum lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa tulisan ini bukan tentang angka-angka kasus kekerasan seksual, bukan juga tentang lika-liku proses legislasi RUU PKS — hal-hal semacam itu sudah banyak dibahas secara komprehensif pada tulisan-tulisan lain. Tulisan ini mencoba membawa kita berkelana pada eksperimen pikiran, tentang bagaimana seharusnya pemerintah mengatur warganya. Hal ini saya angkat karena semakin hari perdebatan yang muncul semakin tidak sehat dan tak berujung.
TITIK PERDEBATAN
Perdebatan RUU PKS salah satunya ialah pada sesuatu yang disebut “pemaksaan/paksaan” (bertentangan dengan kehendak seseorang). Itu terdapat pada pasal 1 ayat 1 draft RUU PKS.
Pada kelompok yang Pro, kekerasan seksual dianggap terjadi ketika ada unsur pemaksaan disitu: pemaksaan hubungan seks, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dst. Sementara kelompok kontra menganggap bahwa kekerasan seksual bukan hanya ketika terjadi pemaksaan, tapi juga ketika itu dilakukan diluar hubungan yang sah atau bertentangan dengan “nilai-nilai” keagamaan: hubungan seksual diluar pernikahan, pelacuran, dst. Maka itu, kelompok kontra mengusulkan untuk mengganti kata “kekerasan” menjadi “kejahatan”.
Perbedaan mendasar tentang definisi inilah yang membuat pembahasan RUU PKS menjadi mandeg dan terus menerus menjadi perdebatan. Saya sendiri melihat persoalan ini sebagai hal yang memang tidak bisa dikompromi dari masing-masing kelompok. Masing-masing kelompok membawa “pandangan” yang bagi saya bertentangan, sehingga sulit untuk mencapai titik temu.
Kemudian timbul pertanyaan, jika memang masing-masing kelompok tidak bisa mencapai titik temu, lalu jalan keluarnya seperti apa?
KEMBALI PADA HAL YANG MENDASAR
Dalam salah satu tulisan yang entah judulnya apa, saya pernah menemukan sebuah kalimat yang bagus, “jika sesuatu sukar dipahami, ada baiknya kembali pada hal yang mendasar”.
Persis seperti RUU PKS, untuk memecahkan persoalan pelik yang tak berujung, ada baiknya kita kembali melihat hal yang mendasar, sesekali memutar dan mengambil jalan yang agak jauh.
Pertama, RUU PKS adalah salah satu rancangan kebijakan publik. Kebijakan disebut publik pertama-tama bukan karena itu diundangkan, tapi karena perkaranya mengatur kehidupan bersama (publik) (Herry Priyono, 2002). Tentu itu perlu diundangkan, tapi titik tekannya tidak terdapat disitu.
Artinya untuk dapat merumuskan suatu kebijakan publik, kita mesti memahami dulu apa yang disebut dengan “publik”, karena bagaimana bisa kita merumuskan suatu kebijakan publik tapi tidak paham apa itu Publik.
Kedua, Indonesia adalah negara republik, bukan negara agama tertentu, kerajaan, atau apapun itu. Konsekuensinya, pemerintah dilihat sebagai badan publik, tugas pemerintah adalah mengurusi Publik.
Publik yang dimaksud disini adalah rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia itu sangat beragam, terdiri dari banyak adat, agama, dan kepercayaan. Implikasinya, banyak pula nilai-nilai yang berkembang. Saya ingatkan, BANYAK. Keberagaman nilai itulah yang disebut dengan Publik.
Ketiga, nilai yang dipercayai Publik itu beragam, pemerintah adalah badan publik. Artinya, pemerintah seharusnya menaungi semua nilai/kepercayaan yang dianut Publik. Mau itu bertentangan dengan nilai yang kita percayai atau tidak, bertentangan dengan mayoritas atau tidak, itu masalah lain. Yang jelas, pemerintah sebagai badan publik HARUS memberikan jaminan bahwa semua nilai bebas dipercayai oleh Publik manapun.
Nilai yang dimaksud disini bukan hanya soal agama dan kepercayaan-kepercayaan tertentu, tapi juga nilai-nilai personal masing-masing warganya.
Keempat, pemerintah menaungi semua nilai. Implikasinya, pemerintah tidak bisa menjustifikasi salah satu isi keyakinan dan memasukannya begitu saja pada kebijakan publik. Karena ketika pemerintah memberikan justifikasi pada salah satu nilai, itu artinya pemerintah telah membuat strata hierarkis terhadap nilai-nilai itu.
Ketika strata nilai-nilai itu dibuat, artinya pemerintah telah mendefinisikan sesuatu secara sepihak, apa yang disebut baik dan apa yang disebut tidak baik. Ini tentu berbahaya.
Bayangkan misalkan Anda sedari kecil sudah diajarkan nilai X, tapi tiba-tiba nilai X itu tidak masuk pada radar nilai “baik” yang telah didefinisikan pemerintah. Dan oleh karena tidak masuk radar nilai baiknya pemerintah, maka nilai-nilai yang kamu percayai sejak kecil dilarang begitu saja melalui peraturan. Kalau saya jadi Anda, tentu saya tidak akan terima, memangnya pemerintah ini siapa sampai bisa-bisanya melarang apa yang saya percayai?
REFLEKSI SINGKAT
Dari keempat poin singkat di atas, setidaknya kita dapat mengambil dua hal:
1. Kebijakan publik hanya mengatur perkara-perkara publik, bukan soal preferensi individu dan nilai-nilai (yang diyakini) individu. Negara ga perlu mengatur warna apa yang mesti disukai warganya. Negara juga ga perlu mengatur model rambut apa yang cocok bagi warganya. Negara hanya perlu mengatur JIKA perkaranya melibatkan atau merugikan Publik (termasuk individu lain).
Oleh karena itu, RUU PKS pada pasal 1 ayat 1 menekankan pada konsep persetujuan (tidak memaksa). Karena ketika memaksa, otomatis ada unsur merugikan dan meresahkan individu lain (publik). Ketika unsur itu terpenuhi, maka negara wajib hadir untuk mengaturnya. Masalahnya, ada ga aturannya? GA ADA, makanya RUU PKS didesak untuk disahkan.
Lalu bagaimana dengan hubungan seksual diluar pernikahan antar orang dewasa? apakah hubungan seksual diluar pernikahan antar orang dewasa itu merugikan publik (atau orang lain) sehingga mesti diajukan pada sebuah rancangan kebijakan publik?
Bagi saya, TIDAK. Hubungan seks diluar pernikahan antar orang dewasa tidak merugikan publik atau individu lain, sehingga tidak perlu dimasukan dalam sebuah rancangan kebijakan publik.
Lagipula kalau itu tidak dimasukan pada sebuah kebijakan publik, bukan berarti semua orang akan melakukan itu dengan seenaknya. Contohnya, misalkan pemerintah melegalisasi ganja lewat peraturan, apa tiba-tiba semua orang akan ngeganja? pilot lagi nerbangin pesawat tiba-tiba ngeganja, masinis di kereta ngeganja, dosen pas lagi ngajar ngeganja, dst. Kan enggak begitu cara pikirnya.
Istilahnya, meskipun hubungan seks diluar pernikahan tidak dilarang melalui peraturan perundang-undangan, bukan berarti semua orang di jagat raya ini akan melakukan hubungan seks. Itu semua tergantung pada pilihan masing-masing individu.
Misalkan, Anda berpandangan bahwa hubungan seks diluar pernikahan itu buruk. Terus ternyata banyak orang yang melakukan itu, ya jangan salahin negara, salahin lah diri Anda kenapa tidak bisa meyakinkan orang lain atas pilihan itu.
2. Pemerintah adalah badan publik. Dasar pemerintah dalam membuat suatu kebijakan publik adalah kejadian-kejadian yang ada dalam Publik. Artinya, formula pemerintah dalam membuat kebijakan publik bukanlah nilai-nilai yang diyakini begitu saja, tapi ada kejadian, ada data.
Contohnya: pemerintah tidak bisa melarang pelacuran hanya karena pelacuran itu tidak sesuai dengan “nilai-nilai” kelompok tertentu. Pemerintah dapat melarang pelacuran jika dan hanya jika ditemukan fakta-fakta yang merugikan Publik atau individu lain.
Contoh faktanya: apakah pelacuran menyebabkan tingkat penyakit kelamin semakin tinggi?; apakah pelacuran menyebabkan anak dibawah umur dieksploitasi lebih tinggi?; apakah pelacuran menyebabkan tingkat kriminalitas lebih tinggi?; dst. Jika memang ditemukan fakta-fakta itu, baru lah pemerintah bisa melarang pelacuran. Begitu juga dengan hubungan seks diluar pernikahan antar orang dewasa, harus ada datanya.
Dengan kata lain, jika Anda meyakini bahwa hubungan seks diluar pernikahan antar orang dewasa itu adalah hal yang mesti dilarang, maka Anda harus membuktikannya kepada Publik kenapa itu mesti dilarang.
Dalam pembuktiannya ini, Anda harus membawa fakta-fakta dan data, bukan hanya membawa keyakinan atau ajaran-ajaran tertentu. Keyakinan dan ajaran-ajaran tertentu gabisa begitu saja dibawa dalam arena perdebatan Publik, kalaupun bisa dibawa, maka keyakinan Anda harus siap untuk dikritik dan diperdebatkan.
Selain itu, Publik juga beragam, nilai yang diyakini Publik macam-macam. Satu-satunya yang dapat dinilai oleh Publik-yang-beragam adalah FAKTA/KEJADIAN/SESUATU YANG TERJADI DAN BISA DIAMATI BARENG-BARENG.
Apakah dampak kekerasan seksual bisa diamati bareng-bareng? Ya jelas bisa, data-nya ada, korbannya banyak, 12 tahun terakhir bahkan meningkat 792%. Maka itu, penanganan kekerasan seksual diajukan untuk dijadikan sebuah kebijakan publik.
Apakah dampak hubungan seks diluar pernikahan antar orang dewasa itu ada? Jika ada, apakah itu bisa diamati bareng-bareng? Fakta dan data-data semacam ini lah yang seharusnya diajukan kelompok kontra untuk menolak RUU PKS, bukan tiba-tiba menolak dengan argumentasi “RUU PKS ini ga sesuai sama nilai-nilai ke-Indonesiaan”. hilihh, dikira republik ini punya bapaknya apa wkwkw
Terakhir, sesuai dengan judul yang ditampilkan, apakah RUU PKS pro dan melegalkan seks bebas?
Tanpa RUU PKS sekalipun, hubungan seks antar orang dewasa diluar pernikahan memang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan — istilahnya, ya memang ga dilarang, kecuali perselingkuhan dan pelibatan anak dibawah umur. Jadi kalau kelompok yang kontra mau memasukan unsur “pelarangan hubungan seks diluar pernikahan yang sah”, maka RUU PKS bukan tempatnya, melainkan di KUHP.
Jika ada yang salah, mohon dikoreksi.