Rating Program TV, Bukan Sekadar Angka

Ilham Mukti
6 min readJun 2, 2023

--

Pict by Diego González

Di sebuah malam, kumpulan anak muda mengobrol ke sana ke mari. Berdiskusi mengapa acara TV yang “gak banget” justru menjamur di masyarakat, mereka heran kenapa program kyk gitu masih tetap eksis.

Joy berkomentar “elahh bro, program kyk gitu ratingnya tinggi, makanya eksis terus”. Renee berceletuk “perasaan ga ada yang nonton”.

Data rating program televisi di Indonesia dikeluarkan oleh Nielsen, satu-satunya lembaga yang mengurusi dunia per-rating-an program tv di Indonesia.

Lebih jauh lagi, data yang dikeluarkan Nielsen pada setiap harinya bukan hanya sebatas rating, namun juga migrasi penonton, profil penonton, demografi penonton (berdasarkan kota, umur, kategori tertentu), dan sebagainya.

“Bagi sebagian pekerja televisi jantungnya akan berdebar-debar ketika laporan rating televisi mereka baru terima yang biasanya diberikan oleh tim programming televisi kepada eksekutif produser, produser, serta asistennya.

Betapa tidak, angka-angka yang sebetulnya tak terlalu rumit karena ia tidak lebih dari dua digit itu menjadi sangat penting. Bahkan angka nol koma akan menjadi pembahasan, baik menyenangkan atau kebalikannya. Begitulah rating dan share tak jarang menjadi momok menakutkan buat para produser dan tim kreatif.” (Diki Umbara)

Ada banyak faktor yang mempengaruhi rating sebuah program televisi. Namun prinsip dasarnya sebenarnya sederhana, rating program televisi ditakar dari banyaknya penonton yang menonton program tersebut. Penonton akan menonton sebuah program setidaknya jika:
1. Programnya menarik
2. Program channel lain di waktu yang sama tidak ada yang menarik
3. Gabut atau iseng aja

Tau dari mana? Dari pengalaman pribadi sebagai penonton TV hehe :)

Dari ketiga hal tersebut dapat dipahami bahwa jika kita mengharapkan rating suatu program tinggi, maka either menahan pemirsa yang sedang menonton atau menarik pemirsa dari channel lain.

Ujungnya sama seperti produk lainnya, yaitu gimana caranya supaya customers memakai/catch up dengan produk kita dan mengharapkan kedepannya akan terus begitu.

Pertanyaannya, gimana caranya menahan pemirsa yang sedang menonton atau menarik pemirsa dari channel lain?

Jawabannya tentu sederhana, yaitu bikin program yang menarik.

Tapi masalahnya karakteristik penonton kan berbeda-beda, apa yang menarik bagi satu penonton belum tentu menarik bagi yang lainnya. Belum lagi faktor-faktor apa yang disebut “menarik” kan bisa banyak hal dan subjektif, terus gimana?

PROGRAM YANG MENARIK

Picture by Damla Özkan

Tidak ada definisi yang pasti soal program yang menarik, namun saya melihat persoalan ini sama seperti melihat suatu “desain poster”, yaitu ada sisi universal (objektif) dan subjektif.

Sisi universal ialah hal-hal basic yang manusia “pasti” suka atau setidaknya sedikit yang tidak suka pada hal tersebut, dalam konteks desain poster sebut saja proporsi, layouting, permainan warna, harmonisasi, atau prinsip-prinsip dasar desain.

Sisi subjektif ialah hal yang menyangkut preferensi: pemilihan pallet warna/element/icon/gambar, topik yang dibahas, gaya desainnya, pemilihan jenis font, dst.

Begitu juga dengan program yang menarik (khususnya pada program berita karena saya in charge di situ hehe), saya membagi menjadi 2 hal, yaitu yang universal (objektif) dan yang subjektif.

Yang universal meliputi kualitas video/gambar, kualitas audio, artikulasi yang jelas dari host/voice over/reporter, typografi, permainan warna pada headline/banner, peletakan urutan berita, dst.

Yang subjektif bisa meliputi konsep program, pemilihan host, pembawaan host, pemilihan topik, angle dari topik tersebut, bentuk berita (VT, live report, dialog dengan narasumber, dst), genre berita, pemilihan narasumber, peletakan bentuk berita, dst.

Jadi bagi saya program yang menarik ialah program yang setidaknya dari sisi universal sudah beres, sisanya tinggal lihat dari sisi subyektif (preferensi)

Perlu digaris bawahi bahwa yang sujektif disini bukan berarti suka-suka, tapi lebih ke fleksibel, dan biasanya dilihat berdasarkan data.

Misalkan: Berdasarkan data, live report pada program X ternyata lebih bagus jika diletakan di segmen 2 dibanding segmen lainnya; berdasarkan data, genre kriminal lokal lebih bagus jika diletakan di segmen 1; berdasarkan data, mengulas sisi psikologis dalam kasus Mario lebih bagus dibanding dari sisi kriminal; dst.

Jadi Yang Subjektif disini bukan dalam artian suka-suka, melainkan ditentukan berdasarkan pola penonton yang menonton program tersebut.

Jika kita berdiri dari penjelasan-penjelasan di atas, muncul masalah baru, gimana caranya kita yakin bahwa pola menonton dari penonton ialah pola yang solid dan bukan cuma kebetulan belaka?

Maksudnya apa?

Sederhananya seperti ini: di minggu ini live report pada program X ternyata lebih bagus jika diletakan di segmen 2 dibanding segmen lainnya, 2 minggu sebelumnya justru live report bagus di segmen 1, tiga minggu sebelumnya ternyata live report bagus di segmen 4, dst.

Kalau kondisinya seperti itu, jadinya live report bagusnya diletakan di segmen berapa?

Dari problem itu, diketahui bahwa penggunaan timeframe (bulan, minggu, hari) menjadi hal penting yang dipertimbangkan untuk melihat dan meyakini secara solid pola penonton.

Semakin kecil timeframe yang kita gunakan, noise akan semakin banyak, dan informasi-informasi yang muncul menjadi beragam, akhirnya kita akan kesulitan untuk memilah informasi solid dari penonton.

Kemudian pertanyaanya beralih, timeframe apa yang ideal untuk bisa melihat dan meyakini secara solid pola penonton seperti problem live report di atas?

Jujur saya sendiri belum punya jawaban yang clear soal ini. Namun saya menilai jalan keluar persoalan ini bisa dilihat dari 2 hal, yaitu A/B testing dan pengalaman.

A/B Testing

Pict by Jason Dent

A/B testing ialah salah satu uji yang sering digunakan dalam banyak hal (termasuk dalam bisnis), pada intinya membandingkan dua hal atau lebih dengan menggunakan statistik. Hasil perbandingan ini nantinya menjadi dasar dalam menentukan apakah satu hal lebih baik dari hal lain atau sebaliknya.

Jika kesulitan untuk membayangkan: misalkan pada program berita X kita letakkan live report di segmen 2 secara terus menerus dalam periode waktu 2 bulan. Kemudian pada program yang sama, kita letakkan live report di segmen 3 dalam waktu 2 bulan juga. Melalui A/B testing nanti kita akan mengetahui live report bagusnya diletakkan pada segmen 2 atau 3, atau tidak ada bedanya.

Namun pengaplikasiannya sungguh tidak mudah. Untuk dapat menghasilkan hasil yang akurat, A/B testing butuh membuat variabel-variabel lain menjadi “beku/freeze/diam”.

Dalam contoh live report di atas ada beberapa variabel yang tidak “diam”, sebut saja topik live report yang tiap harinya kemungkinan berbeda, ulasan sebelum live report yang juga tiap harinya berbeda, program sebelumnya yang juga dapat mempengaruhi minat penonton untuk tetap menonton, karakteristik penonton yang tidak sama yang bisa jadi masing-masing punya pola yang berbeda, dst.

Oleh karena banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan, saya menilai bahwa A/B testing ini tidak cocok untuk diaplikasikan dalam menentukan apa yang bagus dan tidak bagus dalam program TV (khususnya program berita). Kalau pun bisa, noise-nya terlalu banyak dan hasilnya jadi tidak akurat. Lalu bagaimana?

Pengalaman

Pict by Kelly Sikkema

Pengalaman memang guru terbaik, bahkan pengalaman seringkali menjadi variabel penentu dalam mengambil keputusan/kesimpulan. Dengan pengalaman, kita jadi punya insting untuk menentukan mana yang menurut kita bagus/cocok dan mana yang tidak.

Sekilas memang sangat subjektif, namun insting disini dibangun seiring kita bergelut dengan persoalan-persoalan sejenis, dan mencoba merefleksikan persoalan tersebut dengan problem saat ini.

Jika kita refleksikan dengan problem live report di atas, sejujurnya saya belum punya jawaban.

Pace program-program TV itu cepat sekali, hari ini bagus besoknya bisa tiba-tiba jelek padahal komponen-komponennya sama.

Pada akhirnya kita hanya bisa menerka kemungkinan-kemungkinan kenapa suatu program bagus atau jelek pada timeframe tertentu, dan biarkan pengalaman membawa pada keputusan tertentu.

Jadi, hal pertama yang harus ditegaskan ialah penggunaan timeframe. Pola penonton pada timeframe 2 bulan ke belakang bisa jadi berbeda dengan 2 bulan sebelumnya, dst.

Setelah timeframe ditentukan, baru lah analisis bisa dilakukan dengan menerka apa saja komponen-komponen yang pada timeframe tersebut bagus/jelek, dari sini baru diambil kesimpulan.

Prosesnya tentu tidak semulus itu, menerka kemungkinan itu sangat sulit, butuh skills dan insting, apalagi jika variabelnya banyak. Oleh karena itu, pengalaman memainkan peran dalam menghubungkan variabel-variabel tadi dengan problem yang lagi dihadapi.

Penutup

Kalau di awal tulisan ini kumpulan anak muda heran kenapa program yang “gak banget” menjamur dan tetap eksis di masyarakat, ya karena program TV pertama-tama bukan soal “banget atau gak banget”, tapi soal rating.

Sebagai orang yang baru bergelut dengan persoalan ini, bagi saya rating program TV bukan sekadar angka, tapi juga pemantik seni menelusuri. Menelusuri pola apa yang disukai — tidak disukai penonton, dan akhirnya merekomedasikan action dari pola yang nampak.

Sooooo, dimana ada rating tinggi, disitu program akan eksis. Dimana ada rating rendah, disitu content analyst menangis (karena mesti evaluasi hehe)

*Koreksi jika ada yang salah

--

--