PEMERINTAH ITU BADAN PUBLIK, BUKAN BADAN MORAL: SEBUAH REFLEKSI

Ilham Mukti
5 min readMar 18, 2020

--


Oleh Ilham Mukti
18 Maret 2020

Christian Schloe, Pinterest

Ada hal menarik yang baru-baru ini dihadirkan salah satu dosen, metode mengajar yang biasanya hanya mentok di satu arah dan presentasi, kali ini berbeda. Kali ini, salah satu dosen menggunakan metode role play (diskusi dengan bermain peran) dalam pengajarannya. Tentu ini dipilih agar ruang dialektika di kelas menjadi lebih asik, sehingga semestinya lebih “hidup” dibanding metode-metode sebelumnya. Setidaknya ada 3 peran yang mesti dimainkan: pemerintah, akademisi, dan LSM. Masing-masing peran diisi oleh beberapa mahasiswa dan membahas suatu isu dari sudut pandang peran masing-masing.

Pada satu kesempatan, ada pembahasan menarik tentang Prostitusi. Pihak pemerintah kekeuh untuk melarang prostitusi karena dianggap bertentangan dengan moral dan nilai-nilai masyarakat. Sebagai salah satu yang memerankan akademisi, saya jelas menolak anggapan itu. Pemerintah adalah badan publik, bukan badan moral. Tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah harus lah atas dasar publik, bukan atas dasar moral maupun nilai personal.

Seketika kelas hening, banyak orang yang mengerutkan dahi seolah tak percaya, dan memandang bahwa itu adalah pola pikir barat yang individualistis, bahkan dosen sekalipun. Wajah dan kekagetan saat itu mirip saat saya bilang bahwa Tatib mesti dihapus dalam Ospek, banyak yang tak percaya dan berakhiran menentang.

Untuk itu, saya membuat tulisan ini, agar kegagalpahaman tentang “pemerintah sebagai badan publik bukan badan moral” bisa lebih terjelaskan. Supaya kerutan-kerutan dahi penuh ketidakpercayaan bisa sedikit relaks sebelum kerutan itu muncul lagi.

Untuk membukanya, izinkan saya memberikan ilustrasi singkat agar titik perdebatannya bisa lebih dipahami:

“Bayangkan, diri kamu berumur 20 tahun, hidup pada suatu lingkungan yang menganut kepercayaan pada suatu hal. Kamu minoritas, kepercayaan yang dianut oleh orang-orang di lingkunganmu tidak banyak dianut oleh masyarakat lain. Meskipun begitu, kamu dan orang-orang di sekitarmu taat betul terhadap kepercayaan itu — kamu menjalankan ibadah yang dianjurkan, begitu juga dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah turun-temurun. Oleh karena itu sudah diajarkan sejak kamu masih kecil, maka kamu anggap itu sebagai ajaran yang memang mesti dianut.

Pada suatu waktu, pemerintah datang ke lingkunganmu, dan menganggap bahwa apa yang kamu anut dan kebiasaan-kebiasaan yang kamu lakukan selama ini ialah hal yang mesti dilarang, karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut mayoritas. Lalu hal itu terjadi, pemerintah melarang apa yang sudah kamu percayai sejak kecil. Lantas, apa reaksimu?”

Ilustrasi di atas memang tidak nyata, tapi jika saya jadi kamu, tentu saya akan marah besar atas pelarangan yang dilakukan pemerintah. Memangnya pemerintah ini siapa sampai bisa melarang saya melakukan sesuatu atas dasar bertentangan dengan nilai-nilai mayoritas?

Persis, perdebatannya disini. Pemerintah “menaungi” semua nilai/kepercayaan, sekali lagi — SEMUA. Mau itu bertentangan dengan nilai yang kamu percayai atau tidak, bertentangan dengan mayoritas atau tidak, itu masalah lain. Yang jelas, pemerintah pertama-tama harus membebaskan justifikasi baik-buruk pada semua nilai, dan kemudian memberikan jaminan bahwa semua nilai bebas dipercayai oleh individu manapun. Kalau kata bung Rocky, “negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu.”

Jika pemerintah memilih untuk condong pada nilai/keyakinan tertentu, maka nilai lain akan ternegasikan. Hal ini sangat berbahaya, menegasikan nilai-lain artinya pemerintah membuat stratifikasi (jenjang hirarki) di antara nilai-nilai, bahwa nilai A lebih baik daripada nilai B sehingga nilai B mesti dilarang. Pertanyaanya, bagaimana caranya pemerintah mengecek bahwa nilai A lebih baik daripada nilai B jika hanya bicara pada tingkat moral dan nilai-nilai?

Maka itu, hal pertama yang mesti dilakukan pemerintah adalah bebaskan justifikasi baik-buruk. Tugas pemerintah bukan memberikan justifikasi pada nilai-nilai, tapi memberikan kebebasan dan penjaminan bahwa nilai-nilai itu bisa dipercayai oleh individu yang memilih itu.

Dalam konteks Prostitusi misalnya, pemerintah pertama harus membebaskan justifikasi baik-buruk sebelum melakukan tindakan. Pemerintah tidak bisa melarang praktek prostitusi hanya karena prostitusi itu bertentangan dengan moral, tidak bisa. Ini bukan berarti pemerintah itu organisasi yang mesti anti-moral ya, bukan. Melainkan, moral atau nilai-nilai personal tidak bisa diajukan untuk mendukung argumentasi publik.

Kenapa?

Kata “Republik” pada “Republik Indonesia” itu bukan kata yang semata-mata dipilih sebagai hiasan, tapi penuh implikasi. Salah satunya, bahwa negara republik artinya negara mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan publik. Maka itu, jika kamu ingin standar moral/kepercayaan yang kamu pakai bisa dipakai banyak orang/negara, maka kamu mesti mem-publik-an moral dan kepercayaanmu, ditandai dengan kelengkapan data dan fakta, selebihnya, biarkan publik yang menilai.

Sama juga dengan prostitusi. Pemerintah tidak bisa melarang praktek prostitusi hanya karena prostitusi itu bertentangan dengan moral. Pemerintah bisa melarang praktek prostitusi jika prostitusi itu katakanlah: meningkatkan kriminalitas, meningkatkan eksploitasi anak, perdagangan manusia, maupun meningkatkan penyakit — tentu dilengkapi dengan data dan fakta-fakta. Jika fakta-fakta itu tidak ditemukan, pemerintah tidak bisa melarang begitu saja praktek prostitusi. Begitu juga dengan hal-hal lainnya yang terkesan bertentangan dengan moral — itu harus dipublikan jika ingin diterapkan di publik.

Maksudnya, pemerintah tidak punya urusan dengan moral dan apa yang kamu percayai, tapi jika isi kandungan yang kamu percayai melahirkan tindakan kriminalitas dan dampak publik lainnya, maka pemerintah bisa menindak atas dasar hukum publik, bukan dengan melarang isi kepercayaanya. Jika menurut kamu X adalah orang yang bermoral atau tidak bermoral, pemerintah tidak peduli — tapi jika X melakukan tindakan yang mencederai publik, pemerintah wajib hadir atas dasar hukum publik.

Jika diringkas, setidaknya ada 3 poin yang bisa terjelaskan, sebagian besar sudah disinggung di atas. Pertama, moral/keyakinan/kepercayaan/agama itu sifatnya beragam (majemuk). Sebagian orang percaya X, sebagian percaya Z — sebagian melakukan kebiasaan X atas kepercayaanya, sebagian melakukan kebiasaan Z atas kepercayaannya. Jika sangat beragam, maka tugas negara bukan memberikan justifikasi atas isi keyakinan-keyakinan itu, tapi memberikan jaminan bahwa keyakinan yang beragam itu bisa diakses oleh individu manapun. Bentuk konkretnya: membebaskan siswi di sekolah publik untuk pakai hijab atau tidak. Negara tidak boleh memberikan justifikasi atas keyakinan siswi yang ingin memakai hijab, maupun yang tidak. Tapi negara wajib untuk menjamin bahwa masing-masing dari mereka bisa mengaksesnya.

Kedua, seperti yang disinggung pada poin pertama, bahwa negara tidak boleh memberikan justifikasi atas isi keyakinan-keyakinan. Karena jika negara memberikan justifikasi, maka negara telah membangun stratifikasi atas nilai-nilai. Bahwa nilai A lebih baik daripada nilai B. Tentu hal ini akan berujung pada absolutisme negara, maksudnya, negara nanti bisa menentukan mana hal yang mesti dilakukan, mana yang tidak, mana yang baik, mana yang buruk, dan sebagainya. Ini sangat berbahaya.

Ketiga, moral/kepercayaan/keyakinan itu bukan dimensi yang mesti diurusi pemerintah. Jadi pemerintah gausah capek-capek ngurusin itu, karena memang bukan itu tugas pemerintah. Serahkan saja itu pada institusi-institusi keagamaan (NU, Mumahammadiyah, Lembaga-lembaga dakwah, dsb), pemerintah tidak usah ikut campur. Jika katakanlah moral masayarakat itu buruk (ditandai dengan banyaknya praktek perzinaan dan prostitusi), ya tinggal perbaiki lewat institusi-institusi itu, bukan lewat pemerintah. Jika kamu kekeuh bahwa pemerintah harus mengurusi itu, maka kamu mesti mem-publik-an apa yang kamu percayai, lengkapi dengan data dan fakta. Kamu harus membuktikan itu ke publik, karena pemerintah itu badan publik, bukan badan moral.

Selamat Berpikir!

--

--

No responses yet