MENGURUSI PUBLIK TIDAK SEBERCANDA ITU: PEMILIHAN KETUA DAN WAKIL KETUA BEM FISIP UNPAD.

Ilham Mukti
6 min readDec 4, 2019

--


4 Desember 2019
Ditulis dengan hati dan emosi.
Diiringi dengan diskusi teman-teman Lingkar IP setelah nonton debat.

Sekilas, FISIP Unpad kali ini sedang bersemarak dalam pemilihan Ketua dan Wakil ketua BEM FISIP. Ada dua pasang calon yang memeriahkan kontestasi ini, dua pasang putra terbaik yang dimiliki FISIP. Pada prosesnya, dua Pasang Calon (Paslon) sudah melakukan sebagian kampanyenya dengan masuk ke kelas-kelas dalam meyakinkan Publik untuk memilih salah satu dari mereka dan tentu yang masih hangat, debat terbuka yang dilakukan kemarin — 2 Desember 2019.

Banyak hal yang bisa kita soroti dari segala proses yang sudah dijalani, dari mulai demistifikasi jabatan publik, ruang publik yang terbatas (atau dibatasi?), partisipasi masyarakat FISIP yang cukup minim, logika institusional kaitannya dengan komunitas-komunitas kecil di FISIP yang tidak disinggung sama sekali dalam debat maupun kampanye, dan banyak hal, belum lagi masalah program yang dibawa masing-masing Paslon.

Tulisan ini berangkat dari keresahan itu, juga keresahan beberapa teman lainnya yang geram dengan jalannya proses “demokrasi terbesar” di FISIP ini. Selain itu, tulisan ini terinspirasi dari tulisan @Georgiusbenny yang membahas tentang antusiasime yang rendah dari masyarakat FISIP terhadap Pemilu BEM FISIP. Secara pribadi, saya baru pertama kali menelusuri jalannya Proses Pemilu BEM FISIP, dan betapa kagetnya, ternyata sekacau ini.

=========================

Pertama, Ketua dan Wakil Ketua BEM FISIP dipilih langsung oleh Publik. Publik lah nantinya yang akan memilih siapa yang lebih baik dan pantas “memimpin” FISIP. Oleh karena itu, jabatan ini adalah jabatan Publik, mereka (masing2 paslon) membutuhkan Publik, mereka BERTANGGUNG JAWAB secara langsung (jika tidak ada dalam hukum, maka secara moral) kepada Publik. Mereka bertanggung jawab, bukan hanya pada institusi-institusi formal semacam Himpunan dan UKM Fakultas, tapi kepada semuanya. Maka seharusnya narasi sinergisasi, kolaborasi atau apapun itu namanya, bukan hanya ditujukan untuk institusi-institusi formal, tapi lebih daripada itu — karena Publik bukan sekadar Himpunan dan UKM-F, atau dengan kata lain, Himpunan dan UKM-F terlalu kecil untuk disebut Publik.

Karena mereka dipilih oleh Publik, maka masalah-masalah yang ada dalam Publik harus mereka selesaikan. Untuk apa Publik memilih dan menggantungkan masalah-masalah itu dihadapan mereka jika tidak diselesaikan dgn baik?

Mereka harus bisa menyelesaikan seluruh masalah ditengah banyak sekali perbedaan-perbedaan. Seperti yang kita tau, FISIP ini punya banyak sekali jurusan, apalagi ditambah dengan jurusan baru. Artinya, banyak sekali kepentingan yang harus didengarkan dan diakomodir. Itu baru jurusan, belum lagi pihak fakultas, UKM-F, kelompok yang berbeda pandangan, komunitas-komunitas kecil dan masyarakat lainnya.

Sehingga kebayang, betapa beratnya (seharusnya) jabatan Publik ini. Jabatan Publik yang berat ini, semakin kesini, semakin kehilangan reputasinya, atau dalam bahasa kerennya “demistifikasi”. Ini bukan berarti BEM adalah lembaga yang harus dimistikan ya, harus dielitkan, bukan — bukan itu maksudnya. Jabatan Publik ini seolah hanya jabatan biasa yang tidak mempengaruhi apapun, menjadi tidak mistik, menjadi tidak menyeramkan untuk didapatkan. Ketua, wakil ketua, kadept, wakadept, dan staff seolah hanya dimaknai sebagai jabatan yang biasa, padahal Publik “menggantungkan” masalah-masalahnya di pundak mereka. Seolah siapapun bisa memegang jabatan itu, mau kompeten atau tidak, yang penting memiliki massa dan kedekatan. Padahal kalau dilihat lebih dalam, menyelesaikan masalah bukan persoalan mudah, banyaknya massa dibelakang Paslon tidak menjadikan mereka lebih Kompeten dan dapat menyelesaikan masalah-masalah Publik.

UNTUK ITU, SAYA MAU MENGINGATKAN, JABATAN PUBLIK BUKAN AJANG UNTUK MENCARI PENGALAMAN, APALAGI JODOH DAN KETENARAN! mendaftar dan masuk pada posisi Jabatan Publik artinya siap untuk mengaktualisasi gagasan-gagasan yang ada di otak untuk diterapkan. Ingat, menerapkan gagasan. Jadi ketika kamu tidak punya gagasan dan metode untuk diterapkan, MENDING GAUSAH MAJU, KARENA MENGURUSI PUBLIK TIDAK SEBERCANDA ITU.

==========================

Kedua, berangkat dari persoalan yang pertama, salah satu bentuk usaha kepada Publik ialah mereka harus meyakinkan, bahwa jika Publik memilih mereka, maka mereka akan menyelesaikan masalah-masalah Publik dan membawanya ke arah yang lebih baik. Untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah itu, tentu mereka harus tahu betul titik permasalahan yang diresahkan Publik. Untuk bisa tahu, mereka harus melihat dan megalami itu, atau setidaknya, mencari tahu melalui orang lain. Dalam konteks pemilu, kampanye menjadi ajang untuk mencari tahu keresahan-keresahan yang dialami Publik. Kampanye ke kelas-kelas menjadi wadah yang paling real untuk mempertemukan antara Publik dengan calon “pemimpinnya”. Kalau diibaratkan, ya publik mau meresahkan secara langsung dimana lagi selain di kampanye?

Dalam wadah yang paling real ini, seharusnya dapat menjadi ruang yang cukup dialektis antara Publik dengan Paslon dalam membahas segala permasalahan yang ada, seharusnya terjadi tanya-jawab yang komprehensif antara Publik dengan Paslon, seharusnya menjadi ajang untuk mengeluarkan keresahan-keresahan dan didiskusikan dengan mendalam.

Tapi cukup disayangkan, ini salah satu kritik terhadap KPU FISIP tahun ini — ruang yang paling real ini saya nilai hanya sebatas formalitas belaka. Publik tidak diberikan ruang yang cukup luas untuk bisa membahas permasalahan-permasalahan, itu dapat dilihat dalam sesi tanya jawab selesai kampanye di kelas-kelas yang sangat-sangat dibatasi — paling cuma 3–5 pertanyaan. Itu pun bukan diskusi, publik bertanya, kemudian Paslon menjawab — tidak ada ruang yang cukup dialektis untuk membahasnya.

Seperti pada poin pertama, jabatan publik ini sudah tidak mistik lagi, sehingga Publik tidak dilibatkan dengan sedemikian rupa dalam proses pembahasan masalah. Mungkin KPU lupa, Publik lah yang tau persis titik-titik permasalahan yang ada, Publik lah gerbang utama itu. Mungkin KPU lupa, Paslon ini dipilih oleh Publik, mereka bertanggung jawab kepada publik, bentuk tanggung jawab mereka bukan hanya pada saat mereka terpilih, tapi juga pada saat mereka memberanikan diri untuk maju. Untuk itu, seharusnya ruang pertemuan antara Paslon dan Publik diperluas, bukan hanya pada konteks banyaknya pertanyaan, tapi juga format kampanye pada kelas-kelas. Publik harus dilibatkan, perdebatan-perdebatan harus dibuka seluas-luasnya, sehingga nanti publik bisa menilai, paslon mana yang tidak kompeten, atau bahkan dua-duanya?

==============================

Ketiga, masih menyangkut poin-poin sebelumnya. Ruang publik yang tak begitu luas ternyata berlanjut hingga Debat Terbuka kemarin. Bahkan sebelum debat, tidak ada satupun dari masing-masing Tim Paslon yang mengunggah Visi Misi, Program, maupun Pemikiran mereka kepada publik secara jelas — itu semua tidak ada secara pasti, bahkan di masing-masing OA Paslon, apalagi KPU. Masing-masing Paslon hanya menyampaikan gagasan-gagasannya pada kampanye ke kelas-kelas.

Jika begitu, siapa yang dapat memastikan bahwa masing-masing Paslon menyampaikan gagasan yang sama pada setiap kelas? lebih jauh lagi, bagaimana publik dapat memeriksa gagasan dari masing-masing Paslon jika gagasannya saja belum rilis secara resmi? ditambah Debat kemarin, gimana caranya, Debat dilakukan terbuka dihadapan Publik, sementara gagasannya, Publik belum tahu secara resmi?

Ini semakin menegaskan bahwa Publik bukan menjadi perhatian utama, baik penyelenggara pemilu, maupun Paslon. Publik hanya menjadi penunjang dalam pesta demokrasi ini, pemeran utamanya ya paslon dan timses. Pertanyaannya: kalau publik bukan menjadi perhatian utama, terus siapa yang diperhatikan?; kalau publik bukan menjadi perhatian utama, terus suara-suara Publik saat pemilihan dianggap sebagai apa?; atau lebih jauh lagi, kalau publik tidak menjadi perhatian utama, terus buat apa publik memilih?

[update 4 Desember] Paslon 1 sudah mengunggah Program unggulan mereka jika terpilih. Tapi lagi-lagi, yang ditampilkan hanya sebatas nama program, tidak ada penjelasan abstrak yang menjelaskan, apa yang dimaksud program itu? kenapa program itu hadir? bagaimana menjalankannya? dan sebagainya — Itu semua belum ada hingga tulisan ini rilis. Atau memang standar maju Cakabem dan Cawakabem hanya sebatas itu? Ini cukup memprihatinkan untuk publik. Jabatan ini bukan jabatan biasa, jabatan ini penuh tanggung jawab, tapi yang terlihat mereka memperlakukan publik seperti yang biasa.

==============================

Keempat, dalam debat terbuka kemarin, selain lagi-lagi Ruang Publik yang sangat dibatasi, hanya 5 penanya, itupun tidak tek-tok — tingkat partisipasi kehadiran Publik dalam Debat Terbuka pun sangat rendah. Diluar Timses, KPU dan kawan-kawannya, yang menghadiri debat hanya sekitar 50 orang dari 4.000 mahasiswa S1 FISIP UNPAD. Ini menjadi problem tersendiri bagi siapapun, terlebih bagi yang Terpilih nantinya. Dalam debat kemarin, ini sudah sempat disinggung, terutama terkait partisipasi mahasiswa FISIP yang minim terhadap ruang-ruang diskusi dibanding konser-konser yang selalu ramai. Atau istilah kasarnya, diskusi-diskusi di FISIP (khsususnya yang diadakan BEM) TIDAK LAKU dibanding konser-konser musik.

Masing-masing Paslon menanggapi dengan jawaban yang tidak On Point. Yang intinya akan menghadirkan ruang-ruang diskusi lain yang lebih menarik. Padahal kalau kita lihat, ruang2 diskusi di FISIP sudah cukup banyak, masalahnya bukan pada wadah, tapi pada iklim yang tidak membangun untuk itu, sehingga partisipasi Publik minim. Sekarang perdebatannya beralih, apa yang bisa masing-masing Paslon lakukan untuk membangun iklim itu? Itu semua belum dijawab dengan lugas, padahal ini masalah penting, bukti paling nyata ya pas debat, partisipasi masyarakat sangat minim. Kalau perhelatan demokrasi terbesar aja partisipasinya sedikit, apalagi diskusi-diskusi lainnya. Ini cukup memprihatinkan bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Dalam membangun iklim itu, para Paslon juga memberikan solusi. Paslon 1 dengan memperkuat media dan mengemas diskusi menjadi lebih menarik. Paslon 2, membuat intermezzo/awalan pada setiap Diskusi yang membuat publik menjadi tertarik untuk datang diskusi. Bagi saya ini bukan jawaban yang solutif. Itu semua sudah dilakukan pada setiap diskusi-diskusi dimanapun, atau setidaknya di Lingkar IP (wadah diskusi Ilmu Pemerintahan) atau di wadah-wadah diskusi lain, tapi tetap aja, menaikkan partisipasi tidak semudah itu — makanya dibutuhkan orang (pemimpin) yang ngerti akar masalahnya dan tau solusinya, bukan pemimpin yang asal-asalan. Lagi-lagi, jabatan ini adalah jabatan yang berat.

==================================

Terakhir, 4 poin sudah dipaparkan. Permasalahannya tidak berhenti pada poin-poin di atas, belum lagi masalah advokasi, kaderisasi, jurusan baru, penggabungan D4, komunitas-komunitas kecil, membangun iklim akademik, iklim organisasi, dan sebagainya. Terlalu banyak yang mesti dijelaskan dan diselesaikan, dan saya harap, para Paslon kompeten akan itu — kalau tidak, MENDING GAUSAH MAJU, KARENA MENGURUSI PUBLIK TIDAK SEBERCANDA ITU.

--

--

No responses yet