MENGUBAH PROTOTIPE ITU BERAT, KAMU GAK BAKAL KUAT, BIAR DILAN AJA: BERKACA PADA PENGHAPUSAN TATIB DI PROTOTIPE 2019
— —
Oleh Ilham Mukti
30 Desember 2019
Serial Prototipe: tulisan ke-2/xx
Jika pada Agustus lalu saya menulis di medium tentang penghapusan Tatib, saat ini, itu memang terjadi. Tahun ini saya dianugerahi sebagai ketua Prototipe (Ospek Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad), dan mencoba mengaktualisasi gagasan yang telah mengganjal selama ini. Untuk pertama kalinya semenjak Tatib diadakan di IP (sekitar tahun 2000-an), itu ditiadakan pada tahun ini. Artinya, eksistensi Tatib yang selama kurang lebih 19 tahun, kini dipatahkan oleh sejarah.
Tulisan ini mencoba menjelaskan, khususnya dari sudut pandang saya (ketua panitia) tentang peniadaan Tatib pada Prototipe 2019: problematika; titik-titik tegangan; hal-hal yang berkaitan dengan relasi panitia dengan swasta dan alumni; dan sebagainya. Pada intinya, tulisan ini akan menjelaskan betapa sulitnya Tatib untuk ditiadakan, bukan karena tidak ada konsep yang lebih baik, tapi karena hal lain — kaitannya dengan kebiasaan/budaya. Harapanya, semoga panitia-panitia selanjutnya dapat mengerti proses rumit peniadaan Tatib beserta lika-likunya, dan tentu dapat mengambil pelajaran dari tahun ini. Untuk pembahasan kenapa Tatib ditiadakaan, sila cek tulisan ini.
================
Menjalankan perubahan dari yang tadinya ada Tatib menjadi tidak ada memang tidak mudah, terlebih menjelaskan itu pada Swasta, Alumni atau bahkan Panitia sendiri. Ketidakmudahan itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, pertama, bahwa kita (mahasiswa IP, atau bahkan Alumni) tidak mempunyai memori tentang Prototipe tanpa adanya Tatib di dalamnya — sehingga kita tidak bisa membayangkan hal itu terjadi.
Ketidakbisaan membayangkan sesuatu yang belum dialami memang wajar terjadi sebagai manusia, karena sejarah dan memori memainkan peran penting dalam membentuk konstuksi pikiran. Contohnya seperti alam semesta, kita kesulitan jika disuruh membayangkan tentang apa yang ada di luar alam semesta, karena kita tidak mempunyai sejarah dan memori akan hal itu. Sama juga dengan eksistensi Tatib, memori akan Tatib selalu ada di benak mahasiswa IP Fisip Unpad — karena narasi dan apa yang dialami tidak memungkinkan untuk munculnya opsi lain. Sehingga, tidak aneh jika kebanyakan dari kita bakal kaget jika Tatib ditiadakan dalam Prototipe.
Proses mengalami eksistensi Tatib secara langsung sudah ada sejak kita menjadi Mahasiswa Baru (Maba), dan dilanjutkan dengan tahun berikutnya saat menjadi panitia Prototipe. Belum lagi dengan cerita dan narasi-narasi yang selalu dibawa: memperkuat mental; meningkatkan solidaritas; kekeluargaan; dan sebagainya — yang juga tentu menambah rekaman kita akan keindahan keberadaan Tatib di Prototipe. Alhasil, memori kita akan keberadaan Tatib menjadi solid (penuh/bulat), yaitu “akan senantiasa ada dalam Prototipe”.
Kedua, faktor kenapa peniadaan Tatib itu tidak mudah salah satunya juga disebabkan karena perbedaan pandangan tentang Prototipe, khususnya antara Panitia dengan Swasta-dan-Alumni. Panitia kebanyakan berpandangan bahwa Prototipe adalah ajang pengenalan, tidak lebih. Sementara kebanyakan Swasta dan Alumni mempunyai pandangan berbeda — yaitu Prototipe sebagai ajang pembentukan. Perbedaan pandangan fundamental ini yang menyebabkan peniadaan Tatib menjadi sangat sulit. Bisa dibilang, “pandangan tentang Prototipe” adalah akar dari Prototipe itu sendiri. Kalau dari akarnya saja sudah banyak perbedaan, tentu kita bisa menebak arahnya akan kemana.
Perbedaan itu memang wajar terjadi, saya mengartikan Prototipe sebagai A, dan orang lain mengartikan sebagai B — itu sangat sangat wajar, apalagi bagi akademisi. Seorang akademisi dituntut untuk tidak alergi dengan perbedaan, dan tidak takut akan perubahan, karena perbedaan adalah nadi yang memungkinkan peradaban untuk lebih maju. Sialnya, perbedaan itu tidak tersikapi dengan baik dalam Prototipe.
Ketiga, masih menyambung poin kedua — perbedaan-perbedaan itu seharusnya dibedah dan dibahas secara dialektis. Peniadaan Tatib pada Prototipe menjadi sulit karena tidak ada ruang yang cukup dialektis untuk membahasnya. Itu dapat dilihat di Forum Komunikasi Prototipe (Forkom) yang seharusnya menjadi forum pertarungan gagasan, yang justru menjadi ajang penuh emosional. Alhasil, bagi Swasta dan Alumni — panitia itu salah, keliru, keputusannya kurang tepat. Begitu sebaliknya, bagi Panitia — Swasta dan Alumni menutup ruang dialektis, belum sampai panitia menyampaikan apa yang mau dibawa, sudah diputus dengan nada-nada tinggi. Jika ada yang bilang bahwa pandangan saya terhadap nada tinggi itu adalah sentimen belaka, silakan — tapi itulah yang dirasakan panitia, atau bahkan yang juga dirasakan Swasta pada saat menjadi panitia, atau bahkan alumni pada saat dulu menjadi panitia. Jika pandangan atas rasa adala bentuk subyektifitas, bagaimana mungkin itu terjadi secara berkala?
Tidak adanya ruang yang cukup dialektis setidaknya ditimbulkan karena 2 faktor: pertama, perbedaan jenjang Panitia, Swasta dan Alumni yang dipandang sebagai jenjang yang hierarkis (bertingkat), artinya Panitia berada di tingkat paling bawah, Swasta di tengah, dan Alumni di tingkat paling atas, sehingga menimbulkan bias jenjang yang mempengaruhi sumber kebenaran; kedua, jenjang yang dipandang sebagai hierarki tersebut menimbulkan banalitas, sehingga apa yang dilakukan Swasta dan Alumni dalam Forkom terwajarkan karena pandangan hierarki tersebut. Kedua hal itu pada intinya berbicara tentang adanya nilai senioritas, yang tentu tidak disadari. Kita kadang tidak sadar telah melakukan itu, inilah kenapa tulisan ini dibuat, untuk membuka sudut pandang dari “kasta terendah”.
Keempat, masih menyambung poin ketiga, Senioritas (jika senioritas adalah kata yang netral, maka saya akan menuju kepada — Senioritas-yang-menindas). Senioritas-yang-menindas tidak hanya mungkin terjadi antara Panitia dan Maba, tapi juga antara Panitia dan Swasta, Panitia dan Alumni, Swasta dan Swasta lainnya, Swasta dan Alumni, Alumni dan Alumni lainnya dan sebagainya. Senioritas adalah nilai yang dapat tumbuh dimanapun. Nilai senioritas tidak otomatis hilang ketika kamu sudah tidak jadi Panitia — sudah jadi Swasta pun tetap ada yang lebih tinggi, yaitu Alumni — Alumni pun tetap ada yang lebih senior, yaitu Alumni lainnya, begitu terus sampai tidak ada ujungnya. Itulah hebatnya nilai senioritas, ia beradaptasi pada bentuk-bentuk apapun.
Konkretnya pada saat Technical Meeting (TM) untuk Malam Puncak Prototipe 2019. Saat itu perwakilan-perwakilan angkatan Swasta dan Alumni diundang. Saat Alumni belum datang, Swasta lah yang banyak berbicara pada saat TM — tapi berubah seketika ketika Alumni sudah datang, Swasta tidak bicara sama sekali. Itu menandakan adanya ketidakberesan antar jenjang tadi yang dipandang sebagai jenjang yang hierarkis.
Perilaku diam saat sudah ada yang lebih senior tidak terbentuk begitu saja, semua ada prosesnya, salah satu yang membentuk itu ialah melalui Prototipe. Prototipe adalah satu dari sedikit proker Himpunan yang keterlibatan Swasta dan Alumninya terbilang cukup banyak. Selain karena untuk “kenalan”, entah daya magis apa yang menyebabkan banyak orang datang padanya. Yang jelas, ini adalah wadah yang subur bagi senioritas (lagi, jika senioritas adalah kata yang netral, maka saya akan menuju kepada — Senioritas-yang-menindas).
Setiap orang pasti akan menyangkal bahwa apa yang dilakukannya menyuburkan senioritas, tapi lagi-lagi, senioritas dapat beradaptasi pada bentuk apapun, bahkan pada niat dan bentuk-bentuk yang terlihat baik, “bahwa aku melakukan ini untuk mendidik kalian”. Narasi yang dibawa biasanya memang baik, “untuk mendidik”, tapi itu saja belum cukup, senioritas bisa masuk pada praktek-praktek yang bahkan niatnya sudah baik. Maka dari itu, niat tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai suatu tindakan, karena tidak jelas keterukurannya. Bagaimana caranya kita mengecek niat seseorang?
Kelima. Berniat baik, bukan berarti semua hal (tindakan) menjadi benar untuk dilakukan. Berniat baik bukan berarti semua tindakan buruk yang ada (disengaja atau tidak) ternormalisasi menjadi benar. Tindakan buruk ya tindakan buruk, hal itu tidak bisa terwajarkan hanya karena niatnya baik. Sama seperti mencuri, mungkin aku melakukan pencurian untuk niat yang baik (ngasih makan anak dan istri), tapi tetap saja, niat yang baik tidak bisa mewajarkan tindakan yang salah. Mencuri ya mencuri, tetap salah — meskipun niatnya baik. Begitu juga dengan Malam Puncak, meskipun alumni berpandangan bahwa apa yang dilakukannya adalah “hal baik”, namun itu tidak diikuti dengan cara yang juga baik.
Jadi niat saja belum cukup, itu harus dipertegas melalui pikiran-pikiran kritis dan dimanefestasikan dalam tindakan. Faktanya, kita (panitia) kebanyakan takut kepada Swasta dan Alumni, bukan pada tahun ini saja, tapi juga mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Ketakutan-ketakuan ini kebanyakan bersumber karena sikap yang berlebih, terutama untuk Malam Puncak, baik yang dirasakan saat jadi Maba, maupun saat jadi Panitia, baik prosesnya, maupun realitanya.
Artinya, jika Swasta dan Alumni berpandangan bahwa mereka berniat baik, ternyata hal itu memang tidak sampai kepada Maba dan Panitia. Ketidaksampaian ini setidaknya disebabkan oleh 2 hal: pertama, dari Maba dan Panitia jelas bahwa niat yang baik tidak termanefestasikan dengan cukup baik, sehingga yang ditangkap hanya yang memang dirasakan. Pada titik ini, Maba dan Panitia bukan satu-satunya pihak yang mesti disalahkan karena tidak dapat mengambil hikmah baik dari tindakan Swasta dan Alumni, melainkan, Swasta dan Alumni juga harus berbenah diri terkait metode yang selama ini diterapkan — yang menimbulkan ketidaksampaian ini; Kedua, dari sudut Swasta dan Alumni, mereka kekeh bahwa itulah cara yang terbaik untuk mendidik, itu dapat dibuktikan dari Forkom yang tidak dialektis, yang seolah-olah menegaskan “kesolidan” metode yang mesti diterapkan.
Kedua kutub ini saling bersinggungan pada prakteknya, dan jelas, narasi Panitia akan selalu kalah — bukan karena tidak argumentatif, tapi lebih luas daripada itu, menyangkut poin-poin sebelumnya yang sudah dibahas.
Terakhir, dengan ditiadakannya Tatib pada Prototipe 2019, itu memberikan memori dan kesempatan kepada angkatan-angkatan selanjutnya, khususnya angkatan 2018 dan 2019 untuk nantinya dapat menimbang mana yang lebih baik. Mengenai itu, dampak positif (dan negatif) dari penghapusan Tatib pada Prototipe 2019, akan rilis pada tulisan berikutnya. Yang jelas, memori mereka lebih banyak, rekaman mereka lebih luas, dan tentu, pertimbangan mereka jadi lebih banyak.
Hal-hal lain semacam perbedaan pandangan yang fundamental, tidak adanya ruang dialektis, jenjang yang dipandang sebagai yang-bertingkat (hirarkis), dan banalitas dari niat baik — merupakan masalah yang mesti diperhatikan seksama, khususnya Panitia selanjutnya. Itulah beberapa hal yang membuat Prototipe menjadi sulit mengalami perubahan. Bukan karena tidak ada konsep yang lebih baik, tapi karena yang lebih luas, yaitu masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas. Masalah-masalah semacam itu tidak hanya akan terjadi pada konteks penghapusan Tatib, tapi mungkin juga pada perubahan-perubahan lainnya (jika Prototipe masih berlanjut).
Makanya, mengubah Prototipe itu berat, kamu gak bakal kuat, biar Dilan aja.
Selamat berpikir!