Hancurnya Republik “Wakanda” (dibaca: Indonesia): Berkaca Kasus Novel Baswedan

Ilham Mukti
6 min readJun 18, 2020

--

Diunggah oleh Ingrid Zëier, pinterest.com

Oleh: Ilham Mukti
18 Juni 2020

Kasus Novel Baswedan kembali hangat diperbincangkan, bagaimana tidak, pelaku penyiraman air keras kepada penyidik KPK itu hanya dituntut 1 tahun penjara oleh jaksa penuntut. Sontak, publik pun geram, banyak pihak yang menilai tuntutan hukuman 1 tahun penjara terlalu rendah dibanding perbuatannya. Banyak yang menduga ada “drama” dibalik ini semua.

Saya tentu tidak akan membahas itu, sudah banyak tulisan yang membahas “kejanggalan” dalam kasus Novel, bahkan Novel pun tidak henti-hentinya menyuarakan kejanggalan yang dirasakan dalam pengusutan kasusnya. Yang ingin saya bahas pada tulisan ini mengenai kehancuran negara Republik Wakanda (dibaca: Indonesia) berkaca dengan Kasus Novel Baswedan. Pada hal pertama saya akan membahas mengenai ide republik. Dan selanjutnya mengaitkan itu dengan kasus Novel.

Indonesia adalah negara republik. Kata “republik” sebelum kata Indonesia pada “Republik Indonesia” tentu bukan hiasan semata, ia penuh implikasi. Tapi sayangnya, tidak banyak dari kita yang membahas ide republik di Indonesia. Ia seolah diandaikan sudah dipahami oleh kita semua (taken for granted) sehingga tenggelam dengan hal-hal populis semacam demokrasi, revolusi 4.0, SDGs, bonus demografi, good governance, dsb. Rocky Gerung, Herry Priyono, dan Robertus Robert adalah segelintir orang yang mencoba merawat kembali ide republik agar tidak luput oleh pandangan kita.

Lalu, apa arti dari negara republik dan bagaimana implikasinya?

Pertama, negara republik pasti mengandaikan bahwa ada suatu kehidupan yang mesti dikehendaki secara bersama untuk mencapai kebaikan bersama (common good). Kebaikan bersama ini MESTI secara sadar dituju, bukan sekadar hasil dari tangan tak terlihat (invisible hand) dalam kapitalisme atau fundamentalisme pasar. Dengan kata lain, kebaikan/kesejahteraan bersama menjadi tujuan itu sendiri, bukan sekadar remah-remah yang jatuh dari meja pesta para tuan besar.[1]

Kedua, dalam negara republik, pemerintah “menaungi” semua nilai/kepercayaan. Mau itu bertentangan dengan nilai yang kamu percayai atau tidak, bertentangan dengan mayoritas atau tidak, itu masalah lain. Yang jelas, pemerintah pertama-tama harus membebaskan justifikasi baik-buruk pada semua nilai, dan kemudian memberikan jaminan bahwa semua nilai bebas dipercayai oleh individu manapun. Kalau kata bung Rocky, “Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu.”[2]

Ketiga, negara Republik dipimpin oleh pemimpin yang dipilih oleh publik, bukan hasil turun-temurun semacam kerajaan, atau bukan juga “darah biru” kebangsawanan. Artinya, dalam negara republik masing-masing manusia dianggap mempunyai derajat yang setara, tidak ada yang derajatnya lebih tinggi dibanding yang lainnya. Oleh karena semua manusia setara, maka tidak ada satu pun manusia yang lebih berkuasa dibanding manusia lainnya. Kalau ada sesuatu yang dianggap sepenuhnya berkuasa, artinya bukanlah seseorang melainkan sesuatu yang abstrak, yaitu hukum. (Setyo Wibowo, 2018)

Ketiga hal ini tentu hanya sebagian kecil dari penjelasan tentang ide republik dan negara republik. Ada banyak literatur-literatur yang menjelaskan secara komprehensif tentang ide republik dan bagaimana implikasinya. Tapi tentu dalam konteks ini saya tidak akan membahas itu panjang lebar, setidaknya saya ingin menggarisbawahi pada hal kehidupan bersama dan hukum, kaitannya nanti dengan kasus Novel Baswedan.

Pada konteks yang pertama. Novel adalah penyidik KPK, institusi yang paling memerangi musuh besar republik, yaitu KORUPSI. Korupsi menjadi musuh besar republik bukan hanya karena “uang publik” yang diselewengkan pejabat demi kepentingan dirinya, tapi juga karena korupsi menggerogoti tentang apa-yang-publik. Korupsi bersifat jahat persis karena ia menghancurkan “yang-publik” atau perasaan kebersamaan dalam republik.[3]

Dengan kata lain, soal korupsi bukan pada “uang negara” yang diselewengkan, tapi pada pembusukan kinerja seluruh gugus kelembagaan yang menjadi syarat mutlak kemungkinan hidup bersama (Herry Priyono menyebutnya: pembusukan kehidupan bersama)[4]. Ini bukan berarti uang negara yang diselewengkan tidak mesti dikembalikan, bukan begitu.

Jika kita menyuap seorang kiper sepak bola agar timnya mengalah, yang dibusukan bukan hanya kiper dan pemain bola, tapi juga standar moral bermain sepak bola beserta institusi-institusinya. Yang disuap memang hanya kiper, tapi gara-gara itu standar moral bermain bola menjadi bergeser, atau bahkan berubah, sehingga kehilangan raison d’etre (alasan adanya).

Jika kita menyuap seorang hakim untuk memenangkan suatu perkara hukum, yang busuk bukan hanya hakimnya, tapi hukum itu sendiri. Dalam hukum, semuanya punya kedudukan setara, mau kamu kaya atau miskin semuanya harus tunduk pada hukum. Artinya jika kamu semakin kaya, kekayaan itu tidak ada gunanya di depan hukum. Tapi bagaimana kalau hakim menerima suap dari si Kaya?

Ya tentu HAKIMNYA BUSUK, lebih parahnya ia mencederai raison d’etre (alasan adanya) HUKUM ITU SENDIRI. Alasan adanya hukum setidaknya untuk menjaga kesetaraan akses pada keadilan, karena ulah suap, maka itu berubah menjadi “yang kaya yang dapat mengakses”. Berubahnya raison d’etre ini lah yang menjadi persoalan utama korupsi.

Artinya jika seorang pejabat publik korupsi, yang dibusukan bukan hanya pejabat itu (dan uang negara), tapi juga tujuan, proses, dan kinerja kelembagaan institusinya.

Institusi publik dan perangkat-perangkatnya eksis karena kita mengandaikan ada kehidupan bersama yang mesti diatur. Jika institusi-institusi itu membusuk gara-gara korupsi, sedangkan itu menjadi syarat mutlak kemungkinan hidup bersama, maka kita tinggal tunggu waktu hancurnya kehidupan bersama. Begitu kehidupan bersama rontok, seluruh atmosfer kepolitikan yang sehat dan baik juga runtuh, hubungan kewargaan hancur, politik menjadi tidak memiliki dasarnya lagi.[5] Karena rasa kebersamaan hilang, hancurnya kehidupan bersama adalah PERTANDA bagi kehancuran republik.

Singkatnya, korupsi menggerogoti yang-publik dan institusi publik. Jika itu terus tergerogoti, maka ide tentang “publik” menjadi tidak relevan. Jika sudah tidak relevan, maka kita tinggal menunggu waktu kehancuran republik.

Tanda-tanda itu dalam republik Wakanda dapat dilihat dengan kegagalan negara dalam melindungi Novel (penyidik KPK) dan mengusut tuntas kasus Novel. Kasus Novel tentu hanya salah satu bagian, revisi UU KPK pada tahun 2019 juga menjadi pertanda kehancuran republik ini.

Dengan kata lain, itu adalah bentuk TUNDUKNYA republik Wakanda pada musuhnya (korupsi), atau lebih tepatnya, menyerahkan diri untuk tunduk. Ketertundukan ini adalah bukti nyata dari hancurnya republik ini.

Pada konteks yang kedua. Hukum adalah instrumen penting dalam negara republik. Rousseau dalam The Social Contract menuliskan “Dengan demikian saya memberi nama Republik setiap negara yang diperintah oleh hukum, tak peduli apapun bentuk pemerintahannya; sebab hanya dengan demikianlah kepentingan publik mendominasi dan res publica ada maknanya.”[6]

Artinya, negara republik beroperasi berdasarkan hukum yang dirumuskan publik. Jika kita kaitkan dengan kasus Novel, tuntutan 1 tahun penjara pada terdakwa kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan dinilai sangat-sangat janggal, ini sangat ringan. Terlebih korbannya adalah Novel yang notabene penyidik KPK (institusi yang paling memerangi musuh besar republik, yaitu korupsi).

Banyak pihak yang meragukan keabsahan tuntutan jaksa pada kasus ini. Keraguan ini tentu bukan hanya pada kasus Novel, ada sederet kasus hukum dan perilaku negara yang dinilai mempengaruhi kepercayaan publik pada hukum, sebut saja: kasus tuduhan makar pada mahasiswa Papua, pendekatan militeristik di Papua, kasus Ravio Patra, sederet kasus HAM yang belum terselesaikan dan terus diproduksi, revisi UU KPK, dsb.

Terlebih yang menyiram Novel adalah polisi, yang nangkap polisi, yang jadi pengacara polisi. Lengkap sudah kejanggalan dan keraguan publik dalam pengusutan kasus ini.

Jika hukum sudah tidak lagi dipercayai publik, hancur lah semuanya. Ibarat bangunan tidak ada tiang pancang, rubuh lah bangunan itu, yang tersisa hanya puing-puing yang hancur. Dengan kata lain, dalam kasus Novel negara (melalui jaksa) mencederai kepercayaan publik terhadap hukum publik. Jika kepercayaan terhadap hukum diragukan sementara hukum adalah instrumen penting dalam berjalannya negara republik, ya hancur lah republik ini. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan.

Terakhir. Kasus Novel Baswedan ini memprihatinkan, sudah mana melawan korupsi, terus disiram air keras subuh-subuh dengan dalih “ga sengaja”, kasusnya tidak terungkap sampai ke “dalangnya”, tuntutannya cuma 1 tahun pula. Ini adalah pertanda negara republik Wakanda tunduk pada musuhnya, bahkan RELA DIKENCINGI.

Jika Rocky Gerung menanyakan apa prestasi besar rezim Jokowi, ya inilah prestasinya.

Koreksi jika ada yang salah.

[1] Herry Priyono. (2002). Kebijakan (Bukan) Publik. Artikel Kompas diarsipkan pada http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F5266/Kebijakan.htm
[2] Rocky Gerung. (2010). Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat. Naskah Pidato Kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta.
[3] Robertus Robert & Hendrik Boli Tobi. (2014). Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: dari Marx sampai Agamben. Marjin Kiri, halaman 143.
[4] Herry Priyono. (2011). Pembusukan Kolosal. Ditulis di Kompas dan diarsipkan pada https://rumahfilsafat.com/2011/06/28/pembusukan-kolosal/
[5] Robertus Robert. (2015). Machiavelli, Korupsi, dan Pemimpin. Kolom Tempo, https://kolom.tempo.co/read/1003046/machiavelli-korupsi-dan-pemimpin
[6] Robertus Robert & Hendrik Boli Tobi. Op. Cit., BAB Kewarganegaraan Dalam Republikanisme, halaman 125. Atau bisa dibaca langsung pada The Social Contract yang ditulis Rousseau.

--

--

No responses yet