Globalisasi, Demokrasi, dan Kekuasaan
Oleh Ilham Mukti
25 Januari 2021
Sebagai pembuka, saya selalu senang membaca tulisan-tulisan Romo Herry Priyono. Analisisnya tajam, tak menghakimi, ditulis sederhana dan yang paling utama, tulisan-tulisannya selalu membawa ide baru yang mencerahkan pikiran.
Layaknya puzzle, artikel-artikel yang ditulis Romo Herry saling mengisi satu sama lain, seolah membawa saya membangun sebuah kerangka besar dalam berpikir. Jika ada tokoh yang mempengaruhi terhadap apa yang saya pikirkan tentang ekonomi-politik, tentu Romo Herry ialah kandidat paling kuat.
Lagi dan lagi, tulisan ini juga terinspirasi dari tulisan Romo Herry yang berjudul “Rakyat Dalam Pusaran Globalisasi”, “Atlas Globalisasi”, dan “Dalam Pusaran Globalisasi”. Selain itu, banyak juga terinsipirasi dari penjelasan pak Yanuar Nugroho di halaman Youtube-nya berjudul “Intensi & Konsekuensi Kuasa Dalam Hidup Bersama”, “Globalisasi dan Ambivalensinya”, dan “Demokratisasi kekuasaan bisnis”.
Pada intinya, globalisasi-demokrasi-kekuasaan yang sering kita dengar, dan selalu didengungkan ternyata mempunyai sisi lain selain apa yang sering guru atau dosen-dosen jelaskan di kelas.
Globalisasi ialah istilah yang bagi banyak orang tidak asing. Ia adalah fenomena baru keintegrasian dunia terutama didukung oleh percepatan perkembangan teknologi. Dalam konteks ekonomi, globalisasi erat dengan ekspansi perdagangan dan transaksi lintas-negara. Bayangkan kita bisa membeli barang dari luar negeri dengan mudahnya di Indonesia hanya dengan beberapa klik, begitu juga sebaliknya.
Artinya, globalisasi bukan hanya soal kemudahan kita untuk menjalin dan bertukar interaksi, tapi juga soal bisnis yang berekspansi dan mencari laba pada tempat-tempat lain. Atau dengan kalimat Romo Herry, globalisasi ialah gejala perentangan kekuasaan perusahaan-perusahaan transnasional.
Lalu bagaimana dengan dengan demokrasi dan kekuasaan?
Pertama. Sebagai mahasiswa FISIP, saya mengenal demokrasi sebagai konsep bernegara dalam mengatur kehidupan bersama. Di atas kertas, rakyat dalam negara demokrasi “memegang” kekuasaan tertinggi yang diwakilkan secara formal oleh badan publik, dalam hal ini pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dan legitim dalam masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama.
Kedua, salah satu yang khas dari sistem demokrasi ialah pembatasan/pembagian kekuasaan badan-badan publik agar tidak terkonsentrasi pada satu orang/badan tertentu. Secara lebih mendasar, hal ini menandakan bahwa demokrasi mencoba untuk mengatasi masalah penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga, siapapun sepakat, kekuasaan yang punya konsekuensi terhadap kehidupan bersama saat ini tidak hanya ada pada tangan pemerintah, tapi juga ada pada tangan bisnis/swasta (yang tak jarang bergerak lintas negara).
Pada artikel sebelumnya saya menuliskan bahwa hal itu muncul terutama pada dekade 1980-an di Inggris dan Amerika yang dimulai dengan privatisasi dan deregulasi besar-besaran. Dengan kata lain, ada porsi pengaturan kehidupan bersama yang dibagi dengan swasta dan tak jarang porsi itu menghadirkan kekuasaan yang sama kuatnya dengan pemerintah.
Lalu dimana masalahnya?
Pertama, pemerintah sering diandaikan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan legitim dalam masyarakat. Sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah diharapkan dapat mempengaruhi, mengatur dan mengontrol kehidupan bersama.
Era 1980-an kemudian membuktikan bahwa kehidupan bersama yang optimal bukan hanya dapat dikontrol oleh pemerintah, tapi juga swasta melalui mekanisme pasar. Kemudian muncul era globalisasi dan good governance yang menjadikan pemerintah-kelompok bisnis-masyarakat sebagai 3 elemen penting.
Sehingga dewasa ini pemerintah memang masih menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, tapi apa yang mereka kuasai domainnya semakin kecil seiring dengan deregulasi yang serampangan.
Dengan kalimat lain, selain pemerintah, kelompok bisnis juga mempunyai kekuasaan yang besar dalam mempengaruhi dan mengontrol kehidupan bersama. Dalam era globalisasi, kelompok bisnis ini bahkan bergerak lintas-negara.
Masalahnya, jika pemerintah bisa kita pilih melalui proses demokratis, swasta atau kelompok bisnis tidak. Mengutip Berle dalam artikel Romo Herry, “kekuasaan mereka (kelompok bisnis) telah terkonsentrasi tanpa proses perdebatan, tanpa kesetujuan publik, tanpa pertimbangan publik tentang apa yang akan terjadi”.
Bayangkan misalkan Anda memilih seorang pemimpin dan wakil anda di pemerintahan dengan harapan pemerintah bisa mengatur kehidupan bersama lebih baik. Tapi sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama itu terbatas dan sudah dibagikan porsinya kepada swasta secara serampangan.
Dengan kalimat yang lebih lugas “ritual demokrasi memang dilakukan, namun kapasitas negara untuk melakukan kontrol dilucuti oleh kepentingan privat kelompok2 bisnis.”
Kedua, dalam sistem demokrasi, pembatasan kekuasaan seringnya hanya merujuk pada kekuasaan yang ada di tangan pemerintah. Kita sibuk kesana-kemari mencari formula yang tepat untuk membatasi kekuasaan pemerintah tapi lupa bahwa dewasa ini kekuasaan tidak hanya ada di tangan pemerintah, tapi juga swasta.
Persis, pemerintah punya kekuasaan, swasta pun juga begitu, tapi yang luput kita sadari ialah masalah akuntabilitas yang seringkali hanya ditujukan kepada pemerintah, sementara kepada swasta tidak.
Romo Herry menuliskan bahwa setiap perbincangan mengenai kekuasaan senantiasa melibatkan pembicaraan mengenai akuntabilitas, sebab alasannya mendasar, “tidak ada jaminan bahwa kinerja kekuasaan akan otomatis membawa ‘berkat’ bagi banyak orang dalam orbit kekuasaan itu”. Artinya, kinerja kekuasaan bisa juga membawa “kutuk” dan dampak-dampak sampingan.
Sebagai contoh, siapapun dari kita pasti sepakat bahwa banyak program televisi Indonesia yang bermutu rendah. Masalahnya, kelompok bisnis (penyedia program) yang berkuasa menghadirkan itu mana peduli apakah itu bermutu rendah atau tidak, yang terpenting bagi mereka profit masuk ke kantong.
Masalahnya persis disitu, tidak ada jaminan bahwa kinerja kekuasaan akan otomatis membawa berkat bagi banyak orang. Pemerintah juga tidak bisa datang begitu saja kemudian mengubah program-program itu. Jika pun bisa, cap otoriter akan segera disematkan. Itu baru soal program-program televisi, belum lagi soal kesehatan, pendidikan, tambang, hutan, dst.
Jika diawal disebutkan bahwa demokrasi salah satu karakter khasnya ialah membatasi kekuasaan, semestinya kekuasaan bisnis juga bisa dibatasi dan diatur. Atau dalam istilah pak Yanuar Nugroho “Demokratisasi kekuasaaan bisnis”.
Pada poin ini bukan berarti saya mengamini kekuasaan terpusat pada pemerintah, bukan. Bukan juga diartikan bahwa saya anti swasta dan anti pasar, tentu tidak begitu. Yang ditekankan bahwa kekuasaan yang punya konsekuensi terhadap kehidupan bersama mesti disertai akuntabilitas.
Ketiga, salah satu implikasi dari hadirnya swasta sebagai kelompok yang punya porsi dalam mengatur kehidupan bersama ialah pergeseran arah gerak Civil Society (CS).
Pada umumnya, CS dipahami sebagai entitas yang bergerak independen di luar pemerintah untuk ikut serta mengontrol tindakan-tindakan pemerintah. Dengan berkembangnya kekuasaan besar lain di luar kekuasaan yang ada di pemerintah, maka konsekuensinya arah gerak CS juga mau tidak mau bergeser, dari yang tadinya mengontrol tindakan-tindakan pemerintah, menjadi juga mengontrol tindakan-tindakan kelompok bisnis.
Hal ini persis dilakukan karena sekali lagi, “tidak ada jaminan bahwa kinerja kekuasaan akan otomatis membawa berkat bagi banyak orang”.
Sebagai penutup. Ketika kita pergi ke toko dan bermaksud membeli barang, secara tidak sengaja kita membantu pekerja toko untuk tetap dipekerjakan, meskipun itu bukan maksud kita datang ke toko itu.
Tapi ada contoh lain: misalkan saya adalah manajer perusahaan buku, kemudian saya menyuruh pekerja saya untuk menebang kayu agar perusahaan punya banyak buku untuk dijual dan mendapat untung. Tapi tak lama kemudian, banjir dan longsor terjadi. Meskipun saya tidak bermaksud untuk itu, tapi saya tidak bisa mengelak bahwa itu datang dari ketidaksengajaan tindakan saya.
Disinilah problemnya: bagaimana kekuasaan yang bahkan muncul ketika masing-masing dari kita mengejar kepentingan-diri, berakhir dengan “kesejahteraan bersama”, bukan “keruntuhan bersama”?
Jika ada yang salah, mohon dikoreksi.