GERAKAN MAHASISWA: BUKAN SEKADAR GERAKAN MORAL

Ilham Mukti
9 min readNov 10, 2020

--

Foto diambil penulis pada aksi 24 Sept 2019, di depan gedung DPR RI

Oleh: Ilham Mukti
10 November 2020

Bagaimana pendapat anda soal gerakan mahasiswa sebagai salah satu entitas penting dari gerakan sosial di Indonesia saat ini?

Pertanyaan di atas adalah bunyi salah satu dari 2 soal UTS mata kuliah Civil Society yang cukup mengerutkan dahi. Dengan membaca beberapa artikel dan menarik benang merahnya, saya menjawab pertanyaan di atas dengan bertajuk judul “Gerakan Mahasiswa: Bukan Sekadar Gerakan Moral”.

Mahasiswa merupakan salah satu entitas yang ada dalam masyarakat (sosial). Sebagai salah satu entitas, mahasiswa turut menyumbang peran dalam perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tak jarang, gerakan mahasiswa juga menjadi pionir sebagai pemicu perubahan-perubahan besar yang terjadi.

Tentu gerakan mahasiswa tidak berjalan sendiri, terdapat beberapa gerakan yang turut menyumbang peran dalam perubahan-perubahan sosial yang terjadi — gerakan buruh, gerakan tani, gerakan perempuan, gerakan berbasis keagamaan, berbasis lingkungan, maupun profesi-profesi lain.

Tulisan ini persis akan membahas itu (gerakan mahasiswa). Tulisan ini akan dibagi menjadi 2 bagian. Pertama, saya akan membahas mengenai gerakan mahasiswa, khususnya mencoba memberikan perspektif mengapa gerakan mahasiswa menjadi salah satu entitas penting dalam gerakan sosial di Indonesia. Kedua, saya akan membahas mengenai sifat gerakan mahasiswa yang acapkali dimaknai sebagai gerakan moral semata.

SEKILAS GERAKAN MAHASISWA

Gerakan mahasiswa memainkan peran penting dalam gerakan sosial di Indonesia saat ini. Sebagai salah satu gerakan sosial, gerakan mahasiswa bisa dibilang sebagai gerakan yang cukup konsisten dan terorganisir dengan baik dibanding elemen-elemen lainnya.

Jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan lain, gerakan mahasiswa (jika dilihat ke belakang) mampu menjadi pemicu berbagai perubahan tatanan khususnya dalam hal pemerintahan di Indonesia. Gerakan-gerakan mahasiswa menuntut perubahan terjadi bahkan sejak tahun 1966, 1974, 1998, 2019, hingga baru-baru ini mengenai Omnibus Law (UU Cipta Kerja).

Sebagian besar gerakan-gerakan itu ialah gerakan turun ke jalan (demonstrasi). Demonstrasi sendiri menandakan ada suara dan tuntutan-tuntutan masyarakat (mahasiswa) yang terbenam, terpinggirkan serta tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Tuntutan-tuntutan yang diajukan biasanya mengenai kondisi-kondisi tertentu yang tidak mampu dikendalikan dengan baik oleh badan-badan pemerintah, atau masalah-masalah tertentu yang justru dipicu oleh tindakan pemerintah.

Sebagai contoh, gerakan mahasiswa tahun 1966 dipicu oleh ketidakmampuan pemerintah mengendalikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi yang tinggi[1]. Diperparah dengan konflik politik di tataran elit dan konflik ideologi yang berkepanjangan dalam masyarakat.

Gerakan mahasiswa tahun 1998 dipicu oleh krisis ekonomi, konflik rasial dan rezim Soeharto yang berkuasa secara otoriter. Gerakan mahasiswa 23–24 Sept 2019 dipicu oleh maraknya perubahan/pembuatan Undang-Undang yang terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik yang cukup[2].

Seperti halnya gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya, baru-baru ini, gerakan mahasiswa juga kembali muncul dan menjalar. Isu yang diangkat ialah menolak Omnibus Law (UU Cipta Kerja) yang dipicu oleh tindakan pemerintah atau DPR RI yang tidak sesuai dengan keinginan banyak elemen masyarakat.

Kali ini, DPR RI mengesahkan undang-undang yang banyak dinilai miskin pelibatan pihak-pihak yang terdampak, yaitu UU Cipta Kerja. Sebab itu, banyak demonstrasi dilakukan di berbagai daerah di Indonesia: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Solo, dan masih banyak lagi.

Bahkan, besarnya gelombang penolakan membuat banyak kepala daerah menyampaikan aspirasi buruh dan pendemo secara langsung kepada DPR dan pemerintah pusat[3].

Jika kita tarik mundur, gelombang penolakan UU Cipta Kerja bukan hanya terjadi baru-baru ini. Gelombang penolakan bahkan telah dilakukan sejak januari 2020[4]. Kemudian meletus dan mencapai puncaknya pada 5–8 Oktober setelah DPR mengesahkan UU itu tanggal 5 Oktober 2020.

Dalam gelombang protes menolak UU Cipta Kerja itu, tidak hanya aliansi-aliansi buruh yang menyatakan sikap untuk menolaknya, tapi juga banyak elemen masyarakat seperti tani, akademisi, mahasiswa, organisasi keagamaan, dsb[5].

Dalam gerakan mahasiswa sendiri, gelombang penolakan UU Cipta Kerja setidaknya dimotori oleh BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) yang didalamnya terdiri dari banyak lembaga mahasiswa lintas perguruan tinggi.

Gelombang puncak gerakan mahasiswa menolak UU Cipta Kerja terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 yang menyasar Istana Negara (Jakarta) sebagai tempat utama dalam menyampaikan aspirasinya.

Tak hanya aksi langsung, aksi di media sosial juga diluncurkan untuk mengingatkan bahwa isu ini ialah isu besar yang mestinya menjadi perhatian bersama. Tagar #MosiTidakPercaya yang diserukan juga beberapa kali menjadi trending topic di Indonesia, bahkan dunia.

Sampai saat ini, gelombang penolakan dari mahasiswa tetap berlangsung, yang terakhir bahkan dilakukan pada 28 Oktober 2020 yang diserukan oleh BEM SI.

GERAKAN MAHASISWA: ENTITAS PENTING DALAM GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA

Dari berbagai gerakan mahasiswa yang mempunyai akar panjang itu, setidaknya saya mencatat ada 4 hal yang menjadikan mahasiswa sebagai entitas penting dalam gerakan sosial di Indonesia:

Pertama, akses pendidikan. Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang mendapat kesempatan untuk mengakses pembelajaran dalam perguruan tinggi. Di Indonesia sendiri, dari 129,3 juta angkatan kerja pada tahun 2019, hanya 12,57% yang berasal dari lulusan perguruan tinggi, sisanya masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 40,51%[6].

Data itu menunjukan bahwa mahasiswa masih menjadi kelompok yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Keterbatasan akses terhadap perguruan tinggi menjadikan mahasiswa sebagai segelintir kelompok pemikir (intelektual) yang mempunyai keluasan pengetahuan dibanding yang lainnya.

Dengan keluasan pengetahuan, mahasiswa diharapkan dapat menjadi pendorong perubahan atas kondisi-kondisi yang tidak diharapkan dalam masyarakat.

Kedua, mahasiswa adalah akademisi. Akademisi senantiasa mencari apa yang dinamakan kebenaran dan keadilan. Untuk dapat menemukan kebenaran dan keadilan, ruang-ruang perdebatan mesti dibuka seluas-luasnya. Artinya, mahasiswa adalah entitas penting dalam menghadirkan perdebatan-perdebatan dalam ruang publik dan menjadi “suara-suara” dalam menyampaikan kebenaran-keadilan.

Dengan senantiasa mencari kebenaran dan keadilan, gerakan mahasiswa seringkali diartikan sebagai gerakan moral yang menjadi penggerak perubahan ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan publik[7].

Maka tak heran, berbagai forum untuk menyampaikan pendapat banyak ditemukan, dari mulai diskusi-diskusi kecil, kajian-kajian, maupun demonstrasi. Hal itu membuat gerakan mahasiswa ialah gerakan yang organik, tumbuh dari keresahan, perdebatan-perdebatan, dan kesamaan harapan yang pada akhirnya berakumulasi dengan menghadirkan rentetan gerakan.

Ketiga, jejaring mahasiswa luas. Dalam satu kampus, terdapat ribuan mahasiswa yang tersebar di segala penjuru Indonesia. Dalam satu kampus, banyak wadah-wadah perkumpulan mahasiswa yang tidak hanya berkumpul karena kesamaan asal daerah, tapi juga berkumpul karena kesamaan ide, keresahan, harapan, dan motif-motif lainnya.

Belum lagi dengan aliansi-aliansi mahasiswa yang mempertemukan mahasiswa lintas perguruan tinggi. Dengan jejaring yang luas, gerakan mahasiswa akan senantiasa eksis dan menjadi kelompok besar yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Keempat, mahasiswa lebih menguasai teknologi dan media sosial. Dibanding gerakan-gerakan lainnya, gerakan mahasiswa bisa dibilang didominasi oleh pemuda-pemudi yang tentu lebih melek teknologi. Kombinasi perkembangan teknologi dan pemuda-pemudi yang melek teknologi membuat gerakan mahasiswa tersebar secara luas dan massif.

Terlebih era sekarang ialah era informasi, berbagai informasi dengan mudah kita dapatkan di internet, terkhusus media sosial. Di Indonesia sendiri, Menurut Global Digital Statistic dari We are Social[8], pada tahun 2019 dari penduduk Indonesia yang berjumlah 268 juta, sebanyak 150 juta aktif dalam menggunakan media sosial, atau sekitar 56% penduduk Indonesia. Data itu meningkat 15% dari tahun sebelumnya (2018), atau sekitar 20 juta pengguna.

Banyaknya pengguna media sosial dan dominannya mahasiswa yang menggunakan teknologi membuat gerakan mahasiswa mendapat perhatian sendiri di masyarakat, baik nasional maupun internasional. Terbukti, pada aksi 23–24 Sept 2019 yang memakai tagar #ReformasiDikorupsi dan rentetan aksi 8 Oktober 2020 yang memakai tagar #MosiTidakPercaya mampu menjadi trending topik yang menarik perhatian banyak orang.

Terlebih di masa pandemi seperti ini, aksi sering kali dilakukan secara online dan diluncurkan secara massif di media sosial. Maraknya penggunaan teknologi dan media sosial ini adalah upaya gerakan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dari perkembangan zaman. Dengan menyesuaikan diri, gerakan mahasiswa mencoba untuk terus eksis dan menjadi pendorong dalam gerakan sosial di Indonesia.

Keempat hal di atas tentu tidak serta merta mengatakan bahwa mahasiswa adalah kelompok ekslusif, dan spesial dibanding kelompok lainnya, tentu tidak begitu. Keempat hal itu hanyalah hasil pengamatan saya yang melihat mengapa gerakan mahasiswa sebagai salah satu entitas penting dalam gerakan sosial di Indonesia.

GERAKAN MAHASISWA: BUKAN SEKADAR GERAKAN MORAL

Banyak yang menilai bahwa gerakan mahasiswa ialah gerakan moral[9]. Terlebih jika dilihat dari karakteristik mahasiswa yang cukup idealis dalam mengaktualisasi nilai-nilai yang mereka yakini. Gerakan moral pada gerakan mahasiswa lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat membela rakyat dari bentuk-bentuk penindasan dan agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Moral sendiri adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, sedangkan moralitas ialah sifat moral dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk[10]. Dengan pengertian seperti itu, setidaknya muncul satu hal besar sebagai implikasi darinya.

Hal itu ialah bahwa nilai-nilai (pandangan) antara yang baik atau buruk bisa jadi berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Perbedaan semacam itu ialah implikasi dari beragamnya nilai-nilai yang diproduksi dan diyakini manusia (masyarakat).

Belum lagi soal waktu dan perkembangan zaman yang juga mampu membuat nilai-nilai bergeser dan berganti makna dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, moral bukan lah hal yang isinya diyakini secara universal (semua umat manusia), absolut dan tak tergantikan.

Dari pengertian dan implikasi itu, maka bagi saya gerakan mahasiswa bukan sekadar gerakan moral. Gerakan mahasiswa ialah gabungan dari gerakan moral dan gerakan intelektual. Gerakan moral berhenti pada justifikasi tentang baik dan buruk. Gerakan intelektual mencoba memvalidasi justifikasi itu dengan fakta dan data-data yang ditemui.

Jika bisa disebutkan, setidaknya ada 3 hal dasar yang menjadikan gerakan mahasiswa bukan sekadar gerakan moral.

Pertama, hampir (jika bisa dibilang semua) gerakan mahasiswa berlandaskan kajian yang telah dibuat sebelumnya. Kajian-kajian itu mencoba memberikan landasan mahasiswa untuk bergerak dan menyatakan sikap atas suatu kondisi. Rasa-rasanya, jarang mahasiswa bergerak tanpa melakukan kajian sebelumnya, bahkan demonstrasi sekalipun.

Jadi bagi saya gerakan mahasiswa tidak hanya berlandaskan justfikasi moral, tapi juga berbasis data dan fakta yang ditemukan. Gerakan mahasiswa mencoba menggabungkan hati nurani dan fakta-fakta yang ditemui dalam masyarakat. Penggabungan dua unsur itu ialah implikasi dari perkembangan masyarakat ke arah yang lebih rasional dan berbasis fakta.

Kedua, moral adalah ranah baik/buruk, bukan benar/salah. Mengedepankan di awal tentang justifikasi baik atau buruk terhadap suatu persoalan bagi saya cukup bermasalah dalam konteks mahasiswa sebagai akademisi.

Akademisi melihat sesuatu sesuai yang ada dalam realitas, bisa diamati dan diuji bareng-bareng. Salah satu hal yang erat dari akademisi ialah melihat sesuatu tanpa menjustifikasi terlebih dahulu sebelum ditemukan fakta-fakta yang menyatakan demikian.

Salah satu contoh konkret dari poin ini ialah perdebatan RUU PKS. Rancangan undang-undang itu banyak ditentang karena banyak yang menilai bahwa isi dan kandungan dari RUU itu menyalahi moral dan norma masyarakat[11]. Di satu sisi, kita tidak bisa menafikkan ada data dan fakta kasus kekerasan seksual yang bahkan dalam 12 tahun terakhir kasusnya meningkat 792%[12].

Jika gerakan mahasiswa dipahami hanya sekadar gerakan moral yang mengedepankan di awal tentang justifikasi baik atau buruk, maka tentu RUU PKS ini tidak masuk daftar dalam list perjuangan mereka, karena RUU ini berangkat bukan dari persoalan moralitas, melainkan ada kejadian/fakta kasus kekerasan seksual yang belum bisa diurai dan ditangani dengan baik oleh negara.

Dengan ini, bukan berarti moral mesti dikesampingkan dalam gerakan mahasiswa. Moral diperlukan untuk meletakan arah keberpihakan kita pada kelompok yang mana. Dengan moral, kita mencoba menaruh perhatian besar pada kelompok-kelompok yang rentan. Itu saja tentu tidak cukup, dibutuhkan data, fakta, dan kajian mendalam sebelum memutuskan untuk mendukung atau menolak suatu hal.

Ketiga, moral tidak dimonopoli oleh kelompok-kelompok tertentu. Artinya, bukan hanya mahasiswa yang memiliki kompas moral, tapi kita semua. Mahasiswa bukanlah kelompok ekslusif yang dapat memonopoli tentang sesuatu yang baik/buruk dan benar/salah.

Terlebih teknologi semakin berkembang, pengetahuan-pengetahuan yang dahulunya terpusat pada perguruan tinggi, kini menyebar dengan begitu cepat melalui internet. Implikasinya, semua orang bisa menyatakan sikap atas sesuatu bahkan tanpa ia kuliah di bidang itu.

Dengan kata lain, tak perlu menjadi seorang yang bersekolah di pendidikan tinggi untuk bergerak karena alasan moral. Tanpa bersekolah di pendidikan tinggi pun, bergerak karena alasan moral bisa dilakukan. Artinya, gerakan moral bukan sifat khas dari gerakan mahasiswa.

Sifat khas dari gerakan mahasiswa ialah penggabungkan dari hati nurani (yang menaruh keberpihakan) dan data yang ditemukan di lapangan, diikuti dengan jejaring yang luas, konsistensi dan pemanfaatan teknologi media sosial.

Jika ada yang salah, mohon dikoreksi.

CATATAN KAKI:
[1] Fahmi Idris (salah satu aktivis gerakan mahasiswa 1966) dalam wawancaranya di program Kompas TV Tiga Masa Pergerakan Mahasiswa, https://www.youtube.com/watch?v=L-J70UFZNmQ
[2] Prayudi & Aryo Wasisto. (2019). Gerakan Mahasiswa dan Upaya Mengurai Polemik Tuntutan. Info Singkat Vol. XI, №19/I/Puslit/Oktober/2019, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
[3] Setidaknya ada 15 DPRD provinsi dan daerah ikut menolak dan menyalurkan aspirasi ke Jokowi melalui surat seperti halnya bupati dan gubernur lain. Baca selengkapnya di artikel “Rakyat Indonesia Tolak Omnibus Law: 6 Pemda & 15 DPRD Surati Jokowi”, https://tirto.id/f5Kk
[4] Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar demonstrasi hari Senin (20 Januari 2020) untuk menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Artikel “Protes Omnibus Law, Buruh Siap Mogok Kerja Nasional” , https://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/5e9a49905c57f/protes-omnibus-law-buruh-siap-mogok-kerja-nasional
[5] Kritik dan penolakan dari organisasi keagamaan NU dan Muhammadiyah terhadap UU Cipta Kerja. https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/09/160300265/kekecewaan-hingga-kritik-dari-mui-nu-dan-muhammadiyah-atas-uu-cipta-kerja?page=all. Aliansi Tani: http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/153/Omnibus_Law_Cipta_Kerja:_Pengkhianatan_Konstitusi_Yang_Melanggengkan_Penderitaan_Rakyat/. Aliansi Akademisi: https://nasional.tempo.co/read/1397956/dukung-penolakan-uu-cipta-kerja-aliansi-akademisi-lakukan-aksi-mogok
[6] Data BPS yang dijadikan infografis, http://indonesiabaik.id/infografis/profil-pekerja-indonesia-berdasarkan-pendidikan
[7] Usman, Sunyoto. (1999). Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik atau Gerakan Moral. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 3 №2, November.
[8] We Are Social. Data pengguna aktif media sosial di Indonesia pada tahun 2019. https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia
[9] Gerakan mahasiswa mengaktualisikan potensinya melalui sikap-sikap dan pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Akbar, Idil. (2016). Demokrasi Dan Gerakan Sosial (Bagaimana Gerakan Mahasiswa Terhadap Dinamika Perubahan Sosial). Jurnal Wacana Politik Vol. 1, No. 2, Oktober. Hlm. 113
[10] K. Bertens. (2013). Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Hlm. 6
[11] Penolakan RUU PKS salah satunya dimotori oleh Maimon Herawati (salah satu dosen Universitas Padjadjaran) melalui petisi yang dibuatnya dengan judul “Tolak RUU Pro Zina”. Sebagian besar isi petisi itu menyatakan bahwa RUU PKS mesti ditolak karena dianggap mendukung praktek seks bebas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keIndonesiaan. Petisi itu telah ditandatangi 167 ribu orang sejak tahun 2018. https://www.change.org/p/dpr-ri-komisi-8-tolak-ruu-pro-zina
[12] Komnas Perempuan. (2020). Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Hlm. 7.

--

--

No responses yet