Dicari, BEM Kema Unpad (yang baru)!
Oleh: Ilham Mukti
13 Februari 2021
Pada suatu malam di Warung Kopi sederhana daerah Jakarta Selatan, seorang teman pernah bicara, “konon, menjadi pejabat kampus adalah anugerah sekaligus petaka. Anugerah karena kita mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu dan menghasilkan dampak yang (mungkin) besar, petaka karena ‘berbuat sesuatu’ itu ternyata tidak mudah.”
Setelah tahun lalu saya sempat menuliskan keresahan saya terhadap BEM FISIP, kali ini tulisan saya menyasar pada BEM Kema Unpad. Tulisan ini dibuat atas keresahan-keresahan yang muncul terutama terkait dengan keosnya pengawalan isu UKT yang dilakukan BEM Kema.
Sebelum lebih lanjut saya ingin mengingatkan bahwa mengkritik bukan tentang pribadi, tapi tentang kinerja. Kedua, mengkritik bukan berarti membenci. Ketiga, mengkritik bukan berarti saya paling benar, artinya, saya bisa salah. Keempat, mengkritik BUKAN berarti orang/badan yang dikritik tidak pernah berbuat apa-apa, saya yakin jajaran BEM Kema sudah melakukan yang terbaik. Keempat hal itu ialah dasar yang mesti dipahami sebelum lebih lanjut membaca tulisan ini.
Tanpa basa basi, ada fenomena besar yang menjangkiti BEM Kema Unpad periode tahun ini, atau mungkin bagi saya ini adalah fenomena baru selama saya kuliah 3,5 tahun di Unpad. Fenomena yang saya bicarakan memang tidak menyasar langsung dan menghasilkan kekeosan seketika, tapi cukup mendasar dalam kepemimpinan sebuah lembaga/organisasi publik. Fenomena itu ialah fenomena krisis kepercayaan terhadap BEM Kema Unpad.
Jika diminta untuk menyajikan datanya, tentu saya tidak punya data. Saya tidak punya data mahasiswa mana saja yang percaya dan “tidak percaya” pada kepengurusan BEM Kema periode sekarang. Untuk itu, pandangan ini memang syarat akan subyektifitas yang terbentuk melalui pemahaman dan pembacaan saya. Kendati begitu, pandangan yang subyektif tidak otomatis menggugurkan argumen yang dibawa.
Seperti hal lainnya, fenomena krisis kepercayaan tentu bukan Tuhan yang ada begitu saja. Ia tidak tiba-tiba turun dari langit, ia terbentuk dari rentetan sikap dan perilaku, kemudian membentuk sebuah opini umum seperti halnya sekarang. Jika bisa disebutkan, rentetan sikap-perilaku itu dapat disandar pada 2 hal.
Pertama, menurut saya krisis kepercayaan terhadap BEM Kema bermula dari gagapnya BEM Kema dalam mengawal isu UKT. UKT adalah hal dasar dalam perkuliahan. UKT menyangkut ekonomi, ekonomi menyangkut perut. Setiap manusia mempunyai perut. Kalau sudah ngomongin perut tandanya kita mesti siap berdebat siang-malam, karena tentu perut tidak bisa berkompromi layaknya politisi.
Gagapnya BEM Kema dalam mengawal isu perut ini bagi saya sangat terlihat pada konsolidasi-konsolidasi yang diselenggarakan sebelumnya: kajiannya tidak komprehensif, alur konsolidasi yang gak jelas, jejaring dengan BEM Fakultas yang tidak optimal, gaya kepemimpinan yang agaknya kurang meyakinkan, dst.
Kegagapan disini bukan dalam artian gagal/gagap dalam membawa tuntutan, itu tentu satu hal. Hal lainnya yang lebih penting ialah gagap dalam mengagregasikan kepentingan yang diwujudkan dalam konsolidasi-konsolidasi.
Bagi teman-teman yang sempat hadir konsolidasi saya rasa akan setuju bahwa BEM Kema memang belum siap untuk mengawal isu UKT.
Atau jangan-jangan memang standar siapnya cuma segitu?
Kedua, gagapnya BEM Kema dalam mengawal isu mendasar ini bagi saya patut dicurigai disebabkan pada beberapa hal. Pertama, BEM Kema tidak siap secara struktur (struktur belum rampung) sehingga kinerjanya tidak optimal. Alasan ini tentu tidak bisa diterima, permasalahan UKT karena pandemi bukan terjadi baru-baru ini, tapi dari semester lalu. Lagipula Kabem dan Wakabem telah terpilih dan punya cukup waktu untuk menyiapkan persoalan ini.
Kedua, BEM Kema tidak punya sumber daya manusia yang cukup untuk membedah dan membawa isu ini. Ini justru lebih memprihatinkan, Unpad salah satu kampus favorit, terdiri dari banyak fakultas dan jurusan, dipenuhi mahasiswa-mahasiswi kompeten. Sungguh sangat memprihatinkan jika ini menjadi penyebab yang dominan. Apalagi masing-masing fakultas punya lembaga publik yang semestinya memudahkan untuk berkoordinasi dan kolaborasi satu sama lain.
Ketiga, kepemimpinan Kabem dan Wakabem yang kurang meyakinkan. Jika teman-teman sempat mengikuti kondolidasi, agaknya “gaya” kepemimpinan Kabem dan Wakabem kurang meyakinkan di depan publik. Bahkan banyak yang berkomentar bahwa Kabem mending jadi moderator saja, karena gaya bicaranya layaknya moderator webinar.
Saya sendiri mengamini itu, bagi saya gesture/gaya seorang pemimpin sangat penting dalam mempengaruhi persepsi orang lain dalam memandang kinerjanya. Gesture/sikap yang meyakinkan akan membawa kepercayaan pada orang-orang, begitu juga sebaliknya. Jika kepercayaan sudah didapat, hal-hal selanjutnya yang akan dilakukan bisa dibilang akan jauh lebih mulus, karena kepercayaan adalah lapisan dasar dalam memimpin kelompok/jabatan publik.
Keempat, terganjal faktor eksternal yang berkaitan dengan rektorat dan kebijakan rektorat. Alasan ini juga tidak bisa sepenuhnya diterima. Semester lalu rektorat juga punya kebijakan yang sama dengan yang sekarang, bedanya, semester lalu kita (mahasiswa) mampu mengangregasikan kepentingan dan membawanya sebagai bentuk alternatif kebijakan. Semester sekarang? “hatur nuhun kang, akan kami tampung”.
Keempat hal itu tentu bukan pilihan yang mesti dipilih, lagipula itu terlalu sempit, masing-masing dari keempatnya tentu punya sumbangsih dalam menghadirkan kegagapan BEM Kema dalam mengawal isu mendasar ini. Kegagapan ini kemudian menimbulkan keraguan-keraguan terhadap BEM Kema periode sekarang. Keraguan-keraguan itu kemudian menimbulkan fenomena krisis percayaan terhadap BEM Kema Unpad, lebih parahnya, ini baru awal-awal kepengurusan.
Dimana keraguan itu muncul dan diekspresikan?
Tentu bukan di kotak kritik-saran. Teknologi menuntut kita mengubah cara-cara kuno, dan beralih pada pendekatan yang lebih pro-aktif. Jika dahulu ekspresi keraguan dan kritik erat dengan menginputkan pada sebuah kotak/email, sekarang tentu lebih beragam.
Lihat kanal-kanal ekspresi mahasiswa Unpad khususnya postingan yang menyoroti soal kinerja BEM Kema, kemudian hitung dan bandingkan, citra BEM Kema Unpad cenderung positif atau negatif?
Keraguan dan ketidakpercayaan memang tidak kelihatan kasat mata, ia bersemayam di kanal-kanal “rakyat”, bukan di kotak kritik-saran.
Terakhir, layaknya makan tanpa minum, banyak yang menilai mengkritik mesti dibarengi juga dengan menawarkan solusi/saran. Jika memang demikian, saran saya setidaknya ada 4: minta maaf, refleksi, dan perkuat-perbaiki hubungan dengan lembaga lain/publik. Hal ini memang terdengar klise, tapi tidak ada salahnya dicoba.
Lho bukannya itu cuma 3, saran yang ke-4 mana?
Disamping itu semua, saya berharap poin-poin yang sudah saya tuliskan dipenuhi kekeliruan. Semoga saja apa yang saya tuliskan hanya bersandar pada pembacaan pribadi saya dan tidak benar-benar terjadi. Tapi jika memang benar-benar terjadi, inilah saran saya yang keempat, saya menyarankan kita (Kema) mesti menyiapkan sayembara dan sebarkan pamflet ke seluruh penjuru Unpad sambil berseru “Dicari, BEM Kema Unpad (yang baru)”.
Jika ada yang salah, mohon dikoreksi.