Deregulasi: Baik atau Buruk?

Ilham Mukti
4 min readJan 15, 2021

--

Rene Schute, www.reneschute.de

Oleh: Ilham Mukti
16 Januari 2021

Pertama, saya ingin mengucapkan selamat jalan pada tokoh yang tulisan-tulisannya cukup banyak saya baca, yaitu Romo Herry Priyono. Romo Herry merupakan salah satu dosen STF Driyarkara, meninggal dunia pada 21 Desember 2020. Meskipun raganya telah tiada, pemikirannya tetap terpancar pada artikel-artikel yang ditulisnya.

Tulisan ini juga terinspirasi dari salah satu artikel Romo Herry yang berjudul “Filsafat Deregulasi”. Dalam tulisannya, ia menjelaskan ide yang mendasari dari deregulasi: bahwa deregulasi bukan sekadar istilah teknis ekonomi, tapi lebih luas daripada itu.

Tulisan ini tidak untuk mengkritik apa yang dituliskan Romo Herry, melainkan refleksi pemahaman saya terhadap tulisan Romo Herry yang menurut saya cukup mencerahkan. Dengan kata lain, poin-poin yang saya tuliskan kemungkinan besar banyak mengambil tulisan Romo Herry. Hal ini saya lakukan untuk melatih saya dalam memahami sesuatu dan menuliskannya kembali menggunakan bahasa saya.

Tahun 1980-an adalah tahun yang bersejarah bagi dunia. Dimulai di Inggris dan Amerika, terjadi privatisasi dan liberalisasi besar-besaran dalam segala aspek. Sumber dan sarana-sarana produksi yang sebelumnya dimiliki oleh negara untuk kepentingan orang banyak, kini mulai dilepas ke swasta.

Subsidi-subsidi sosial yang pada masa sebelumnya dianggap ampuh dalam menangani orang-orang yang “tidak beruntung”, kini dikurangi dengan sedemikian rupa oleh negara. Belum lagi soal deregulasi dan penurunan pajak yang dilakukan untuk mendorong investor dalam berinvestasi.

Salah satu justifikasi dilakukan semua itu adalah bahwa negara dianggap sebagai penghambat perkembangan ekonomi, sehingga peran negara yang pada masa sebelumnya sangat besar, kini mesti dikurangi. Negara yang pada periode sebelumnya dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas hidup, kini justru dianggap sebagai penghambat dan sumber masalah. Oleh karena negara ini sebagai penghambat, maka perannya mesti dikecilkan. Kemudian muncul lah era baru, era globalisasi, good governance, dan neoliberalisme.

Deregulasi sendiri ialah salah satu konsep yang masuk didalamnya. Ia menjadi bagian dalam mengurangi peran pemerintah dalam mengurusi kehidupan bersama — hal itu karena pemerintah dianggap sebagai sumber masalah itu sendiri, makanya perannya mesti dikecilkan.

Sebagai mahasiswa FISIP, istilah deregulasi tentu bukan istilah yang asing di telinga, seringkali bahkan dikaitkan dengan konteks ekonomi, orde baru, dan swastanisasi. Romo Herry diawal-awal artikelnya menuliskan bahwa deregulasi bukan hanya istilah teknis ekonomi belaka, tetapi premis baru dalam ketatanegaraan yang ia bagi menjadi 2 lapis argumen dan saya tambahkan menjadi 3 argumen.

Pertama, jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negara tidak boleh lagi bergantung pada pemerintahan yang berkuasa. Dengan kata lain, hidup-matinya politik, ekonomi, pendidikan, atau budaya tidak lagi bergantung pada inisiatif pemerintah, tetapi juga bergantung pada non-pemerintah (individu maupun swasta).

Dalam hal ini deregulasi artinya bukan tidak ada regulasi, melainkan perluasan atau pemindahan locus otoritas dari yang tadinya ada di tangan pemerintah (state-regulation) menjadi dibagi pada tangan non-pemerintah (self-regulation).

Bukannya bagus ya jika hidup-matinya suatu negara tidak lagi bergantung pada pemerintah?

Kedua, jika hidup-matinya negara tidak lagi bergantung pada pemerintah, artinya ada porsi pengaturan kehidupan bersama yang dilepas kepada pihak non-pemerintah (swasta). Jika ada porsi pengaturan kehidupan bersama yang dilepas kepada pihak non-pemerintah, perdebatannya beralih pada porsi apa saja yang dapat kita lepas, dan tidak bisa kita lepas kepada non-pemerintah?

Dari pertanyaan itu, munculah perdebatan-perdebatan tentang batas-batas swastanisasi, salah satunya ialah “apakah pendidikan perlu dilepas kepada non-pemerintah (swasta)? jenjang pendidikan apa saja yang mesti dikelola oleh pemerintah dan jenjang apa yang bisa dilepas kepada non-pemerintah?, dst”. Dengan kata lain, batas-batas porsi yang dilepas dan dipertahankan mesti dirumuskan dengan berbasis fakta dan data-data.

Ketiga, basis pemerintah dalam melakukan state-regulation ialah mandat dari publik, sementara basis self-regulation ialah kepemilikan sumber daya/kapital. Artinya, deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan yang ada pada “self/non-pemerintah” sehingga menjadi kekuatan regulatif baru dan tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah.

Romo Herry mengambil contoh program-program televisi yang selama ini dikuasai dengan program gosip, badut-badutan, dst, yang pada intinya bermutu rendah. Dengan deregulasi, pemerintah tidak bisa serta merta datang dan mengubah program-program itu. Ini ialah salah satu implikasi dari adanya deregulasi, yaitu melepas sebagian pengaturan kehidupan bersama pada pihak non-pemerintah, dan tunduk pada kebebasan selera non-pemerintah (swasta).

Dengan kata lain, baik-buruk pendidikan, ekonomi, politik, media, perguruan tinggi atau budaya bukan hanya menjadi tanggungan pemerintah, melainkan juga tanggungan non-pemerintah (swasta). Sayangnya, basis non-pemerintah (swasta) dalam menanggung bukanlah mandat publik, tapi preferensi dirinya.

Dari ketiga hal di atas tampak bahwa deregulasi bukan hanya soal teknis ekonomi, tapi juga etika dalam memanajemen masyarakat. Lalu, apakah kita mesti pro atau kontra terhadap deregulasi? Saya sarankan langsung baca tulisan Romo Herry hehheee.

Jika ada yang salah mohon dikoreksi.

--

--

No responses yet