Cengkeraman Neoliberalisme
Oleh: Ilham Mukti
26 April 2020
Dalam satu artikelnya, Herry Priyono pernah memberikan pertanyaan yang begitu abstrak: transaksi ekonomi itu bagian dari hubungan sosial manusia, atau sebaliknya?
Jika bisa dijawab, tentu transaksi ekonomi adalah bagian dari hubungan sosial manusia. Singkatnya, kehidupan manusia itu sangat kompleks, yang terbangun atas berbagai macam aspek yang mencirikan manusia. Berbagai macam aspek ini salah satunya ialah transaksi ekonomi, yang dicirikan oleh Adam Smith, bergerak kokoh atas kepentingan-kepentingan diri.
Singkatnya…
Jika aku adalah petani yang menanam padi, tentu aku memproduksi padi. Tapi untuk bisa hidup, padi saja tidak cukup, aku membutuhkan barang/jasa lainnya seperti pakaian, pengobatan dan tentunya jenis makanan lain. Untuk bisa mendapatkan itu, setidaknya ada 3 cara yang bisa aku lakukan. Pertama ialah mencuri barang-barang itu dari orang lain, sehingga apa yang aku butuhkan terpenuhi. Kedua, aku memelas belas kasih orang lain dengan harapan orang itu memberikannya. Ketiga, aku menukarkan yang aku punya kepada orang lain dan saling mendapatkan apa yang dibutuhkan.
Cara pertama dan kedua tidak memungkinkan aku lakukan, karena mencuri adalah tindakan yang jahat, lagipula kalau aku lakukan, pasti akan babak belur dihajar massa. Sedangkan memelas kasih membuat hidup aku tergantung dari kebaikan hati orang lain, ini juga tidak memungkinkan. Karena bukannya manusia tidak punya kebaikan hati untuk dibagikan, tapi karena kebaikan hati ini tidak menentu, kita tidak pernah tau kapan manusia akan berbaik hati.
Maka yang memungkinkan adalah cara yang ketiga, yaitu saling menukarkan apa yang aku punya, dan apa yang orang lain punya. Untuk bisa mendapatkan barang/jasa yang aku butuhkan, aku harus tau diri dan mengerti bahwa orang lain juga sama seperti aku, yaitu membutuhkan barang/jasa. Jadi, agar kepentingan-diri aku terpenuhi, maka aku harus masuk pada kepentingan-diri orang lain. Dengan kata lain, tanpa ‘masuk’ ke dalam kepentingan-diri orang lain, kepentingan-diri aku sendiri tidak akan terpenuhi.
Maka jelas, ekonomi bergerak melalui pertukaran dan perdagangan, bukan dengan merampas atau memelas kasih pada orang lain. Pertukaran dan perdagangan ini digerakkan oleh saling “masuk” pada kepentingan-diri. Dengan masing-masing mengejar kepentingan-diri, maka terciptalah keteraturan dan akumulasi kekayaan.
Lalu apa hubungannya dengan neoliberalisme?
Pengejaran atas kepentingan-diri menurut Herry Priyono adalah hasil pembacaan Smith dalam ekonomi untuk menjelaskan bagaimana kemakmuran bisa tercapai, yaitu melalui pertukaran dan perdagangan. Jika kita kembali ke bagian awal yang menyatakan bahwa ekonomi itu adalah bagian dari hubungan sosial manusia, artinya, tindakan manusia yang digerakkan atas dasar kepentingan-diri bukan mencerminkan manusia seutuhnya, melainkan hanya salah satu bagian. Maka itu, model kepentingan-diri seharusnya tidak digunakan pada seluruh aspek hidup manusia, karena tentu masing-masing aspek punya corak tersendiri.
Tapi dalam era sekarang, kepentingan-diri yang erat dengan transaksi ekonomi menyelinap ke sendi-sendi aspek lainnya. Masuk ke pendidikan, kesehatan, peradilan, politik, hubungan pertemanan, dan lainnya. Sehingga kepentingan-diri kini tidak hanya dipahami sebagai hal yang menggerakan ekonomi, melainkan menggerakan segala aspek hidup manusia. Implikasinya, ia diekstremkan menjadi hal “kodrati” manusia, yang kemudian dikultuskan dan mematikan kompleksitas hidup manusia. Relasi hidup manusia yang beragam, kini “dikomandoi” oleh satu model, yaitu kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa hidup manusia itu ‘hanya’ tentang kepentingan-diri dan untung-rugi, yang kemudian disebut dengan istilah “homo economicus”.
Penjelasan singkat di atas cukup menggambarkan apa yang dinamakan neoliberalisme, yaitu ekspansi besar-besaran dari aspek kepentingan-diri yang menggerakan ekonomi, menjadi masuk pada semua aspek. Atau mungkin lebih tepatnya, penyederhaan kompleksitas manusia. Tentu, tindakan manusia salah satunya melibatkan aspek ekonomi, tetapi tidak semua tindakan manusia adalah tindakan ekonomi. Dari sini nanti muncul istilah-istilah seperti: komersialisasi pendidikan, swastanisasi, transaksi politik, hukum yang bisa dibeli, dsb.
Jika kita belum menemukan bahayanya, Romo Herry dalam artikelnya “homo economicus” memberikan sebuah contoh.
Ambillah pengadilan sebagai contoh. Apa alasan adanya tata pengadilan dalam sebuah Republik? Mungkin kita memberikan jawaban berbeda, tetapi saya ingin mengajukan posisi bahwa alasan adanya pengadilan adalah pengelolaan kesetaraan akses hukum (equal access to the law) bagi keadilan (justice), bukan untuk dakwah atau berbisnis. Penerapan cara berpikir makhluk ekonomi (homo economicus) dalam kinerja pengadilan akan berakibat ‘keadilan’ selalu hanya dimenangkan oleh mereka yang mampu membayar paling tinggi, sebab homo economicus dibergerakkan oleh prinsip keramat “pembayar tertinggi adalah pemenang”. Dengan itu lalu keadilan juga bukan lagi hak asasi (human rights), melainkan soal daya-beli (purchasing power). Dan akhirnya tata pengadilan justru kehilangan alasan adanya.
Contoh yang disampaikan sudah sangat jelas untuk mengetahui begitu bahayanya jika kepentingan-diri memasuki aspek lainnya. Artinya, masing-masing aspek ini punya motif kerjanya sendiri, sehingga motif kerja homo economicus “pembayar tertinggi adalah pemenang” tentu tidak bisa dijadikan satu-satunya motif. Jika ini dijadikan satu-satunya motif dari seluruh tindakan manusia, tentu hasilnya sangat ditentukan oleh daya-beli, karena untuk bisa “menang” di motif itu, kita mesti punya daya-beli. Sedangkan daya-beli hanya bisa dipunyai jika kita mampu untuk menumpuk pundi-pundi.
Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai daya-beli rendah tidak akan pernah merasakan “menang” dalam hidup, karena untuk bisa menang, maka daya-beli seseorang mesti tinggi (pembayar tertinggi adalah pemenang). Menang ini adalah istilan lain dari mendapatkan keadilan, keamanan, kenyamanan, kepemimpinan yang baik, tidak mendapatkan diskriminasi dan semacamnya. Makanya dalam neoliberalisme, kemiskinan itu bukan masalah sosial, melainkan masalah individu yang tidak bisa mengubah dirinya untuk bisa laku di “pasar”, yang kemudian mempunyai daya-beli untuk bisa mengakses hidup. Sehingga dalam neoliberalisme, hidup bukan soal “hidup”, tapi soal daya-beli.
Menjadi terang sudah mengenai bahaya ini. Pemujaan ekstrem terhadap kepentingan-diri membawa kompleksitas hidup kita menjadi sederhana. Sederhana disini tentu bukan dalam artian yang positif, melainkan “yang-mematikan”. Pada titik yang lebih jauh, pemujaan terhadap kepentingan-diri pada akhirnya dapat memudarkan watak publik dalam kehidupan-bersama — karena melalui pemujaan ekstrem terhadap kepentingan-diri, aspek publik pun terkena pengaruh motif kerjanya.
Watak publik yang pudar sudah barang tentu mempengaruhi cara kita dalam merumuskan apa yang baik bagi publik. Dan yang utama, pemudaran watak publik dapat mematikan kehidupan “publik” kita di negara republik, sehingga pada titik ekstrem “tidak ada lagi kepentingan publik”, yang ada hanya “kumpulan kepentingan-kepentingan diri”. Seperti halnya Margaret Thatcher (PM Inggris 1979–1990) yang mengatakan, “tidak ada lagi masyarakat, yang ada hanya kumpulan individu-individu”.
Tulisan ini banyak merujuk pada artikel Herry-Priyono, terutama “Homo Economicus”. Jika ada yang keliru, mohon dikoreksi.