Bukan PUSH UP, lalu Apa?: Kontrak Belajar dan Bentuk Hukuman pada Prototipe 2019
—
Oleh Ilham Mukti
10 Januari 2020
Serial Prototipe: tulisan ke-3/xx
Dalam tulisan sebelumnya, saya sempat menjanjikan akan merilis tulisan mengenai dampak dari penghapusan Tatib pada Prototipe 2019. Hal ini dilakukan untuk menjawab kerisauan-kerisauan berlebih yang sering muncul saat Tatib ditiadakan dalam Prototipe. Tapi sebelum masuk kesitu, alangkah baiknya kita mengetahui kondisi disamping itu semua.
Seperti yang diketahui, Prototipe 2019 diselenggarakan tanpa divisi Tata Tertib. Meskipun prosesnya rumit dan tidak diterima oleh berbagai pihak, penghapusan divisi Tatib memang terjadi pada Prototipe 2019. Selain itu, ada 2 hal lagi yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu mengenai Kontrak Belajar, dan bentuk hukuman/sanksi. Ada beberapa faktor dan alasan yang menyebabkan kedua hal itu berbeda pada Prototipe 2019. Artinya, tulisan ini akan mencoba menjelaskan perbedaan dan faktornya, khususnya dari sudut pandang saya (ketua panitia pada saat itu), sebagai kerangka nantinya dalam memahami dampak pengahapusan Tatib pada Prototipe 2019.
Untuk pembahasan mengenai kenapa Tatib ditiadakan, sila baca tulisan ini. Dan untuk pembahasan mengenai penghapusan divisi Tatib pada Prototipe yang sangat rumit, sila lihat tulisan ini.
=============================
KONTRAK BELAJAR
Kontrak belajar pada Prototipe 2019 banyak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, dari segi filosofi maupun isi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Kontrak Belajar diartikan (scr tidak langsung) sebagai wadah untuk “mengetes” kekritisan Maba dan memetakan Maba yang vokal, yang diwujudukan pada poin-poin pada Kontrak Belajar yang sengaja dibuat untuk diperdebatkan, ini berbeda pada Prototipe 2019. Jika tahun-tahun sebelumnya, semua hal diatur, dari mulai: memakai baju/celana/rok apa, warna apa, corak apa; sepatu diatur; kaos kaki; ikat pinggang; kaos singlet; makanan; make up; dan sebagainya. Semuanya diatur, bahkan barang-barang yang tidak disebutkan dalam kontrak belajar, dilarang untuk dibawa. Ini jelas berbeda pada Prototipe 2019, kita tidak se-mengatur itu.
Perbedaan ini disebabkan oleh 4 (empat) faktor. Faktor pertama, kita (panitia) memandang Prototipe sebagai ajang pengenalan, tidak lebih. Faktor kedua, implikasi dari memandang Prototipe sebagai pengenalan ialah bahwa kita (panitia) tidak mengatur dengan sedemikian rupa Maba, karena pengenalan macam apa yang lawan-kenalannya diatur sampai pemakaian singletnya?
Tindakan mengatur dengan sedemikian rupa saya nilai sebagai tindakan yang keliru. Mengatur dari pakaian; kaos kaki; ikat pinggang; kaos singlet; make up; makanan; minuman; dsb — ialah hal yang keliru, meskipun dengan narasi “untuk kenyamanan” dan bisa diperdebatkan. Bayangkan jika pakaian teman-teman diatur oleh Negara? singlet, tebal-tipisnya rambut, tinggi-rendahnya kaos kaki, sampai makan dan apa pun diatur, kemudian Negara bilang “itu untuk kenyamanan kalian”. Sungguh menyeramkan untuk dibayangkan.
Untuk itu, pada Prototipe 2019 hal-hal semacam itu dilonggarkan: baju bebas, asalkan berkerah; celana bebas, asalkan panjang; sepatu bebas, asalkan nyaman; bebas mau pakai ikat pinggang dan singlet atau tidak; bebas mau pakai kaos kaki atau tidak; bebas mau make up atau tidak; bebas rambutnya mau panjang ataupun pendek; dan sebagainya — semua itu dilonggarkan.
Faktor ketiga, kita memandang bahwa Mahasiswa Baru adalah manusia yang sama dengan kita, yang tentu mempunyai preferensi-preferensi berbeda, dari mulai pakaian, model rambut, sampai dengan gaya hidup. Dan kita tidak mau membatasi itu, selama memang tidak menganggu individu lain. Pengaturan seyogyanya berisi aturan-aturan tentang kehidupan bersama (tentang publik), yaitu mengatur dan menjamin preferensi-preferensi yang berbeda antar individu agar tidak bertabrakan dan menimbulkan masalah. Seharusnya itu yang diatur, hubungan antar individu, bukan masuk pada ranah-ranah privat semacam kaos singlet dan pelarangan make up.
Masuk dan mengatur ranah privat tidak akan pernah ada habisnya. Karena ranah privat adalah bentuk ekspresi masing-masing individu yang mempunyai preferensi2 berbeda. Mengatur ranah privat, artinya kita tidak mengerti bahwa masing-masing manusia itu berbeda, dan mesti disamakan lewat aturan (kontrak belajar). Padahal sejatinya setiap manusia memang berbeda, baik itu pikiran, tujuan hidupnya, maupun kesukaan. Tindakan mengatur ranah privat saya kira keliru, karena menentang keniscayaan perbedaan2 itu. Lagipula mengatur hal-hal semacam itu tidak berpengaruh signifikan terhadap keakademisian Maba. Jelas ini perbedaan yang mencolok dari tahun-tahun sebelumnya.
Faktor keempat, implikasi dari mengartikan Prototipe sebagai pengenalan ialah bahwa kita (panitia) tidak datang untuk membentuk dan “mengetes” Maba, baik kekritisannya, mentalnya, kesolidan, dan sebagainya — Prototipe 2019 tidak hadir untuk itu. Prototipe 2019 hadir untuk mengenalkan Maba ke seluruh elemen-elemen yang ada, sehingga kita tidak perlu capek-capek membentuk dan “mengetes” Maba. Implikasinya, poin-poin yang ditawarkan Panitia dalam Kontrak Belajar bukanlah poin yang sengaja dibuat untuk melihat dan memantik kekritisan Maba (seperti pada tahun-tahun sebelumnya), melainkan poin-poin yang memang kita rumuskan untuk disetujui bersama tanpa ada visi “mengetes”. Meskipun pada kenyataanya banyak poin-poin yang diperdebatkan, tapi itu bukan ditujukan untuk mengetes Maba, melainkan memang murni untuk membangun persetujuan.
Lagipula memang Panitia itu siapa sehingga bisa-bisanya mengetes Maba? Panitia sama seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya, yang belum tentu kritis, belum tentu disiplin, belum tentu masuk terus, belum tentu ngerjain tugas tanpa copas, belum tentu mentalnya kuat, belum tentu solid dan sebagainya — sehingga belum tentu mereka kompeten untuk mengajarkan dan mengetes Maba. Untuk itu, kita tidak mengartikan Kontrak Belajar sebagai ajang mengetes dan membentuk kekritisan Maba, melainkan sebagai ajang untuk menyetujui hal-hal yang mesti disetujui.
Keempat faktor ini setidaknya yang membuat Kontrak Belajar pada tahun ini berbeda: mengartikan Prototipe sebatas wadah pengenalan; tidak mengatur Maba dengan sedemikian rupa; tidak megatur ranah Privat; dan juga tidak datang untuk “mengetes” dan mebentuk Maba.
======================
BENTUK HUKUMAN/SANKSI
Bentuk hukuman atau sanksi jika melanggar Kontrak Belajar pada Prototipe 2019 juga berbeda. Pada tahun-tahun sebelumnya bentuk hukuman jika melanggar Kontrak Belajar ialah Push Up, itu berbeda pada Prototipe 2019. Tahun 2019, bentuk hukumannya adalah “mengobrol” dan tidak seketat tahun-tahun lalu. Jika pada tahun2 sebelumnya warna kaos kaki salah dan isi air minum kurang pun bisa dihukum, tahun ini hal-hal semacam itu tidak ada, karena memang kita tidak mengatur itu. Jika misalkan ada Maba yang telat (melanggar kontrak belajar), maka hukumannya adalah mengobrol — kenapa bisa telat, apa penyebabnya, lalu kedepannya akan seperti apa. Hal ini dipilih setidaknya karena 3 Faktor:
Faktor pertama, lagi-lagi kita memandang Prototipe 2019 sebagai ajang pengenalan. Pengenalan macam apa yang lawan kenalannya mesti dihukum? Meskipun ia berbuat melanggar perjanjian, kita memandang bahwa menghukum dengan hukuman yang saklek (semacam push up) itu kurang tepat. Selain karena tidak ada ruang diskursif, juga karena ketika kita menghukum, kita sering larut dalam proses menghukum tersebut, dan lupa untuk menyelesaikan masalah. Karena menghukum orang yang salah memang mengasyikan — ada perasaan senang tersendiri ketika kita menghukum orang lain yang salah (jika itu tidak datang atas kehendak kita, itu dipastikan datang dengan sendirinya).
Sehingga kita lupa, masalah ya masalah, hukuman tidak selalu menyelesaikan masalah. Sama seperti Tipsen, meskipun banyak dosen yang menghukum mahasiswa2 yang ketauan Tipsen, tetap saja Tipsen banyak dilakukan. Artinya, jika kita memandang bahwa hukuman adalah satu-satunya cara agar tidak ada lagi yang melanggar, saya kira kurang tepat. Itulah yang terjadi pada Prototipe tahun2 sebelumnya — yang memakai hukuman sebagai satu-satunya cara agar tidak ada lagi yang melanggar Kontrak Belajar, solah-olah tidak ada cara lain. Kita harus bisa melihat ini lebih dalam.
Faktor kedua. Melanggar kontrak belajar berbeda dari melanggar hukum yang ada pada masyarakat, sehingga logika menghukum dan aparatur hukumnya juga mesti berbeda. Hukum dalam masyarakat biasanya mengatur hal-hal tentang kehidupan bersama (tentang yang publik), sehingga ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka masyarakat-yang-lain (publik) BERHAK menghukumnya, karena telah menganggu kehidupan bersama. Perangkat/aparatur hukumnya pun jelas, yaitu badan/perorangan yang diberikan wewenang menghukum yang tentu mesti lebih kuat (ditandai dengan memiliki senjata, dsb), sehingga menimbulkan 2 hal: pertama, “normalisasi” terhadap pelanggar, sehingga setelah dihukum, pelanggar diharapkan tidak melanggar hukum lagi; dan kedua, memberikan efek terhadap yang lain agar tidak melanggar.
Logika semacam ini jelas kurang tepat jika diterapkan dalam Kontrak Belajar. Pertama, kontrak belajar yang ada selama ini tidak mengatur tentang kehidupan bersama, atau setidaknya sangat minim — yang kebanyakan diatur adalah hal-hal privat semacam pakaian, makanan yang mesti dibawa, warna sepatu dan lain-lain. Hal ini menjadikan metode “penghukuman” yang erat dengan normalisasi pelanggar dan efek jera, menjadi tidak tepat, termasuk Push Up, dan Push Up satu angkatan.
Kedua, Pelanggar kontrak belajar, BUKAN pelanggar publik, karena isi kontrak belajar bukan tentang publik. Sehingga cukup membingungkan, aparatur penegak aturan disini (Tatib) diberi wewenang oleh dan atas dasar apa? Jika polisi diberi wewenang atas dasar bahwa ia menjadi “penyikat” orang yang telah MERESAHKAN publik, nah Tatib ini bagaimana? Pelanggar Kontrak Belajar kan tidak meresahkan publik, publik mana yang teresahkan karena ada yang tidak pakai gesper dan kaos kaki? Masa iya orang tidak pakai kaos kaki/gesper dihukum? tapi kan ini sesuai perjanjian? iya memang sesuai perjanjian, tapi sebelum kesitu, ada kecacatan logika yang terus dipelihara — masa mau ngatur hal-hal semacam itu!
Seperti yang ditulis di atas, setiap manusia punya preferensi yang berbeda-beda dan tidak bisa disamakan lewat pengaturan semacam itu. Untuk itu, pemakaian penegak aturan semacam divisi Tatib menjadi TIDAK RELEVAN. Selain karena Kontrak Belajar tidak mengatur hal-hal publik, juga karena ini hanya ajang pengenalan.
Faktor ketiga, melanggar Kontrak Belajar tentu bukanlah hal yang diinginkan bagi siapapun, pasti ada alasan kenapa itu bisa dilanggar. Sehingga jika ada yang melanggar kontrak belajar, kita mesti tahu dulu, kenapa itu bisa dilanggar, apa penyebabnya, dan sebagainya — tentu satu-satunya cara ialah dengan mengobrol, bukan dengan Push Up.
Mengobrol tentang masalah membuat kita fokus atas penyelesaian masalah, bukan larut menghakimi masalah-masalah yang ada. Mengobrol membuat kita paham, bahwa Prototipe tidak hanya tentang melanggar dan tidak melanggar, terkadang ada opsi-opsi lain yang terpinggirkan. Datang telat misalnya (tentu melanggar kontrak belajar), kita mesti tahu dulu alasannya, terkadang memang ada saja alasan-alasan yang memang meyakinkan: mengantar/merawat Ibu yang sakit; ban bocor; dsb. Apa kita akan menghukum orang-orang tersebut?
Pelanggaran memang pelanggaran, itu tetap salah. Tapi tampaknya kita terlalu naif untuk menghukum orang yang telat atas alasan-alasan yang meyakinkan. Lagipula, apalah arti ospek ini dibanding hidup mereka.
Mahasiswa adalah akademisi, mengobrol adalah usaha kita untuk memandang mereka sebagai manusia, lebih jauh lagi, sebagai mahasiswa. Saya yakin, segala tindakan pasti ada alasannya, termasuk melanggar kontrak belajar. Dan untuk itu, makanya kita hadirkan ruang “ngobrol” tersebut untuk membahas kenapa itu bisa terjadi. Ini usaha kita untuk tidak cepat-cepat menghakimi pelanggaran yang ada, karena terkadang memang tidak sehitam-putih itu.
Dengan mengobrol, kita membangun ruang-ruang yang tak ternilai. Dengan bertatap muka dan mengobrol, artinya kita percaya bahwa pelanggaran yang dilakukan pasti lah atas dasar alasan yang kuat, setidaknya bagi yang melanggar. Dan untuk menghormati itu, maka ruang2 itu dibuka, bukan langsung ditutup melalui hukuman Push Up.
Bertemunya antar-wajah saat mengobrol membuat pikiran-pikiran total kita akan pelanggaran yang ada menjadi luluh. Bayangkan jika pikiran kita total, bahwa yang melanggar, pastilah harus dihukum, yaitu Push Up. Pasti kita akan mem-push up siapapun yang melanggar, meskipun dengan alasan bahwa ia sedang merawat ibu yang sakit. Hal itu sungguh berbahaya, makanya mengobrol atas kesalahan-kesalahan yang ada menjadi penting. Sebab ketika mengobrol, wajah-wajah kita akan bertemu, pikiran-pikiran total kita menjadi luluh, pikiran kita dirasuki oleh “Yang-Lain”, memperlihatkan dirinya, dan melampaui gagasan mengenai Yang-Lain (total) dalam diriku. Jika teman-teman sulit membayangkan, saya ada tulisan menarik yang membahas ini — Ada Apa dengan Wajah Orang Lain?, ditulis oleh Aldo Fernando (mantan Ketum LPPMD Unpad).
======
Ketiga faktor ini setidaknya yang membuat Sanksi/Hukuman pada Prototipe 2019 berbeda: memandang Prototipe sebatas wadah pengenalan, kaitannya dengan hukuman yang bukan satu-satunya cara; logika penghukuman ketika melanggar prototipe yang berbeda dengan hukum yg berkembang pada masyarakat; serta pertemuan antar-wajah (ngobrol) yang membuat pikiran-pikiran total kita menjadi luluh terhadap Yang-Lain.
Selamat Berpikir!